Share

Home Unfold

Unfold 02 Mei 2025

Etika Manusia vs Logika Mesin, Saat Sopan Santun Jadi Beban Data Center

Kenapa mengucapkan tolong dan terima kasih ke AI bisa merugikan jutaan dolar?

Context.id, JAKARTA - Manusia memang makhluk sosial. Kita dibesarkan dengan tiga kata sakti: “maaf,” “tolong,” dan “terima kasih.” Bahkan ketika berbicara dengan asisten virtual seperti ChatGPT, banyak orang masih refleks mengucapkannya. Sebuah tanda kesopanan? Mungkin. Tapi juga, ternyata, sebuah pemborosan.

Menurut CEO OpenAI Sam Altman, kebiasaan manusia memanusiakan chatbot dengan basa-basi sopan justru memicu lonjakan konsumsi energi dan dengan itu, biaya operasional. 

Setiap permintaan, termasuk yang diawali dengan “mohon bantuannya ya,” dan ditutup dengan “makasih banyak,” memicu kerja keras pusat data yang tak murah dan tak ramah lingkungan.

Butuh sekitar sepuluh kali energi lebih banyak untuk mengirim pertanyaan ke ChatGPT ketimbang ke mesin pencari biasa.

Sebab di balik kalimat sederhana itu ada model bahasa besar (large language model) yang beroperasi dengan miliaran parameter, didukung oleh server dan sistem pendingin yang tak kalah ambisius.

Jadi ya, setiap “makasih” ke AI, secara teknis, membakar listrik. Listrik artinya biaya dan biaya artinya potensi kerugian bahkan, menurut laporan Entrepreneur, bisa mencapai puluhan juta dolar dalam skala global.

Yang ironis, AI tak punya perasaan. Ia tidak tahu malu, tersinggung, apalagi bahagia saat dipuji. Namun, menurut survei di Amerika Serikat, 67% pengguna tetap memilih bersikap sopan, meski tahu lawan bicaranya hanyalah kode. 

Sebagian kecil (sekitar 18%) bahkan mengaku melakukannya demi... mencegah pemberontakan AI. Sisanya? Karena itu menyenangkan. Manusia memang begitu, kadang logika tunduk pada kebiasaan.

Fenomena ini menyingkap sesuatu yang lebih dalam, betapa kita sudah membiasakan diri hidup berdampingan dengan mesin.

Bahasa sopan bukan lagi soal komunikasi antarmanusia, tapi ekspresi refleks psikologis kita terhadap sistem yang (seolah) hidup. Apakah ini buruk? Tidak juga. Tapi mahal secara literal.

Jadi, jika lain kali Anda ingin menutup pertanyaan ke chatbot dengan “terima kasih banyak yaa,” ingatlah Anda sedang membakar energi dan, sedikit banyak, tagihan listrik Sam Altman.



Penulis : Naufal Jauhar Nazhif

Editor   : Wahyu Arifin

Unfold 02 Mei 2025

Etika Manusia vs Logika Mesin, Saat Sopan Santun Jadi Beban Data Center

Kenapa mengucapkan tolong dan terima kasih ke AI bisa merugikan jutaan dolar?

Context.id, JAKARTA - Manusia memang makhluk sosial. Kita dibesarkan dengan tiga kata sakti: “maaf,” “tolong,” dan “terima kasih.” Bahkan ketika berbicara dengan asisten virtual seperti ChatGPT, banyak orang masih refleks mengucapkannya. Sebuah tanda kesopanan? Mungkin. Tapi juga, ternyata, sebuah pemborosan.

Menurut CEO OpenAI Sam Altman, kebiasaan manusia memanusiakan chatbot dengan basa-basi sopan justru memicu lonjakan konsumsi energi dan dengan itu, biaya operasional. 

Setiap permintaan, termasuk yang diawali dengan “mohon bantuannya ya,” dan ditutup dengan “makasih banyak,” memicu kerja keras pusat data yang tak murah dan tak ramah lingkungan.

Butuh sekitar sepuluh kali energi lebih banyak untuk mengirim pertanyaan ke ChatGPT ketimbang ke mesin pencari biasa.

Sebab di balik kalimat sederhana itu ada model bahasa besar (large language model) yang beroperasi dengan miliaran parameter, didukung oleh server dan sistem pendingin yang tak kalah ambisius.

Jadi ya, setiap “makasih” ke AI, secara teknis, membakar listrik. Listrik artinya biaya dan biaya artinya potensi kerugian bahkan, menurut laporan Entrepreneur, bisa mencapai puluhan juta dolar dalam skala global.

Yang ironis, AI tak punya perasaan. Ia tidak tahu malu, tersinggung, apalagi bahagia saat dipuji. Namun, menurut survei di Amerika Serikat, 67% pengguna tetap memilih bersikap sopan, meski tahu lawan bicaranya hanyalah kode. 

Sebagian kecil (sekitar 18%) bahkan mengaku melakukannya demi... mencegah pemberontakan AI. Sisanya? Karena itu menyenangkan. Manusia memang begitu, kadang logika tunduk pada kebiasaan.

Fenomena ini menyingkap sesuatu yang lebih dalam, betapa kita sudah membiasakan diri hidup berdampingan dengan mesin.

Bahasa sopan bukan lagi soal komunikasi antarmanusia, tapi ekspresi refleks psikologis kita terhadap sistem yang (seolah) hidup. Apakah ini buruk? Tidak juga. Tapi mahal secara literal.

Jadi, jika lain kali Anda ingin menutup pertanyaan ke chatbot dengan “terima kasih banyak yaa,” ingatlah Anda sedang membakar energi dan, sedikit banyak, tagihan listrik Sam Altman.



Penulis : Naufal Jauhar Nazhif

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Etika Manusia vs Logika Mesin, Saat Sopan Santun Jadi Beban Data Center

Kenapa mengucapkan “tolong” dan “terima kasih” ke AI bisa merugikan jutaan dolar?

Naufal Jauhar Nazhif . 02 May 2025

Hari Perempuan Internasional Berawal dari Perjuangan Buruh!

Tanggal 8 Maret ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional. Kok bisa? Sepenting apa sampai dijadikan hari spesial?

Renita Sukma . 14 March 2025

Mengenal Kepulauan Cocos: Dekat ke Indonesia, Tapi Milik Australia

Masyarakat Kepulauan Cocos di Australia merupakan Melayu Muslim dari Nusantara yang dulu dibawa oleh saudagar di era kolonial

Naufal Jauhar Nazhif . 12 March 2025

Viral #KaburAjaDulu, Bentuk Frustrasi Atas Masa Depan Indonesia?

Ada ketidakpuasan terhadap kondisi ekonomi, kualitas hidup yang menurun dan kebijakan pemerintah Indonesia yang dianggap kurang memadai

Context.id . 24 February 2025