Negara Bahagia yang Bertaruh pada Bitcoin
Bhutan menemukan jalan baru keluar dari krisis ekonomi menambang mata uang kripto paling boros energi di dunia.

Context.id, JAKARTA - Di balik lereng bersalju Himalaya, Bhutan pernah dikenal sebagai negeri yang lebih mementingkan kebahagiaan rakyat daripada pertumbuhan ekonomi. Kini, negara kecil ini mengambil langkah yang jauh dari konvensional dan dari kebijakan sebelumnya: menambang Bitcoin.
Bukan tanpa alasan. Pandemi menghantam sektor pariwisata penopang utama ekonomi sementara generasi muda terdidik meninggalkan negara demi gaji lebih tinggi di Australia. Dalam respons tak lazim, pemerintah menjual Bitcoin senilai 100 juta dolar AS untuk menggandakan gaji pegawai negeri. Hasilnya? Eksodus birokrat muda mulai melambat.
Bhutan punya amunisi langka, listrik tenaga air berlimpah dan suhu dingin alami yang memangkas biaya pendinginan superkomputer. Ketika ekspor listrik ke India tak lagi menguntungkan, Bhutan memilih menyimpan energinya untuk menambang Bitcoin seperti yang dilaporkan Al Jazeera.
Hasil tambangnya menurut data Arkham mencapai lebih dari 600 juta dolar, atau hampir sepertiga PDB nasional. Langkah ini terdengar nekat, apalagi bagi negara yang dikenal hati-hati membuka diri terhadap investasi asing. Tapi seperti kata Raja Jigme Khesar, “Being a small nation makes us a smart nation.”
Bhutan tidak sendirian. El Salvador, AS, dan bahkan Republik Afrika Tengah mulai menambahkan Bitcoin dalam cadangan strategis mereka. Namun hanya Bhutan yang melakukannya sambil menjaga 60% tutupan hutannya dan mengembangkan kota masa depan bernama Gelephu yang menjanjikan harmoni antara mindfulness dan blockchain.
Apakah ini jalan baru pembangunan berkelanjutan? Atau sekadar upaya putus asa negara kecil memanfaatkan peluang sebelum gelembung Bitcoin pecah lagi? Bhutan tampaknya tak peduli pada opini luar. Seperti biasa, mereka mendefinisikan pembangunan dengan caranya sendiri.
RELATED ARTICLES
Negara Bahagia yang Bertaruh pada Bitcoin
Bhutan menemukan jalan baru keluar dari krisis ekonomi menambang mata uang kripto paling boros energi di dunia.

Context.id, JAKARTA - Di balik lereng bersalju Himalaya, Bhutan pernah dikenal sebagai negeri yang lebih mementingkan kebahagiaan rakyat daripada pertumbuhan ekonomi. Kini, negara kecil ini mengambil langkah yang jauh dari konvensional dan dari kebijakan sebelumnya: menambang Bitcoin.
Bukan tanpa alasan. Pandemi menghantam sektor pariwisata penopang utama ekonomi sementara generasi muda terdidik meninggalkan negara demi gaji lebih tinggi di Australia. Dalam respons tak lazim, pemerintah menjual Bitcoin senilai 100 juta dolar AS untuk menggandakan gaji pegawai negeri. Hasilnya? Eksodus birokrat muda mulai melambat.
Bhutan punya amunisi langka, listrik tenaga air berlimpah dan suhu dingin alami yang memangkas biaya pendinginan superkomputer. Ketika ekspor listrik ke India tak lagi menguntungkan, Bhutan memilih menyimpan energinya untuk menambang Bitcoin seperti yang dilaporkan Al Jazeera.
Hasil tambangnya menurut data Arkham mencapai lebih dari 600 juta dolar, atau hampir sepertiga PDB nasional. Langkah ini terdengar nekat, apalagi bagi negara yang dikenal hati-hati membuka diri terhadap investasi asing. Tapi seperti kata Raja Jigme Khesar, “Being a small nation makes us a smart nation.”
Bhutan tidak sendirian. El Salvador, AS, dan bahkan Republik Afrika Tengah mulai menambahkan Bitcoin dalam cadangan strategis mereka. Namun hanya Bhutan yang melakukannya sambil menjaga 60% tutupan hutannya dan mengembangkan kota masa depan bernama Gelephu yang menjanjikan harmoni antara mindfulness dan blockchain.
Apakah ini jalan baru pembangunan berkelanjutan? Atau sekadar upaya putus asa negara kecil memanfaatkan peluang sebelum gelembung Bitcoin pecah lagi? Bhutan tampaknya tak peduli pada opini luar. Seperti biasa, mereka mendefinisikan pembangunan dengan caranya sendiri.
POPULAR
RELATED ARTICLES