Ketika Visa Menjadi Senjata Politik, Trump Deportasi Mahasiswa Asing
Ribuan mahasiswa asing yang sedang belajar di kampus-kampus bergengsi di AS tiba-tiba dicabut visanya oleh Presiden Trump. Apa penyebabnya?

Context.id, JAKARTA - Di bawah masa jabatan keduanya, Presiden AS Donald Trump kembali mengguncang dunia pendidikan tinggi. Kali ini, sasarannya bukan universitas liberal, melainkan mahasiswa asing yang vokal terhadap konflik Timur Tengah.
Seperti dilansir dari Al Jazeera, sejak 20 Januari 2025, ribuan mahasiswa internasional mendapati status visa mereka dicabut secara sepihak. Di antara mereka ada yang terlibat demonstrasi pro-Palestina di kampus, ada pula yang hanya pernah menyatakan simpati untuk Gaza di media sosial.
Beberapa bahkan ditahan, tanpa dakwaan, tanpa pemberitahuan, tanpa sempat mengemasi hidup mereka.
Gedung Putih mengeklaim langkah ini sebagai cara "membersihkan kampus dari aktivisme radikal". Namun, bagi para mahasiswa yang terkena dampaknya, yang terjadi justru sebaliknya: mereka merasa dikriminalisasi karena pendapat dan identitas mereka.
Dari Harvard sampai Ohio State
Data dari Inside Higher Ed menunjukkan hingga 17 April, 1.489 pelajar telah kehilangan visa mereka. Dampaknya menyebar ke lebih dari 240 kampus di seluruh negeri, dari Harvard hingga kampus kecil liberal arts di Midwest.
Pemerintah berdalih ini demi menjaga ketertiban kampus. Namun, pengacara imigrasi seperti Mohammad Ali Syed melihatnya sebagai pelanggaran serius atas prinsip due process.
“Banyak yang visanya dicabut bukan karena protes, melainkan karena pelanggaran kecil—seperti ngebut atau parkir ilegal," kata dia. “Bahkan ada yang tidak diberi alasan sama sekali.”
Sejumlah kampus, termasuk George Mason University, mulai menyuarakan protes dan menyediakan bantuan hukum untuk mahasiswa mereka.
Di balik statistik itu ada ketakutan yang lebih luas. Hafsa Kanjwal, dosen di Lafayette College, menyebut atmosfer di kampus makin mencekam.
"Mahasiswa asing tak lagi yakin bisa pulang ke negara asal mereka jika keluar dari AS untuk liburan. Beberapa bahkan tak punya tempat kembali karena konflik di negara mereka," ujarnya.
Mahasiswa mulai menonaktifkan media sosial. Beberapa menyembunyikan identitas politiknya. "Sekarang, menulis di Instagram bisa membatalkan visa," ujar seorang dosen yang mewanti-wanti agar namanya tak disebut.
Trump, tampaknya, sedang mengirim pesan kebebasan berbicara bukan hak universal terutama jika kamu bukan warga negara AS.
Siapa yang jadi korban?
Mahmoud Khalil, lulusan Columbia, ditangkap di apartemennya setelah dituduh “berafiliasi dengan Hamas” tanpa bukti. Padahal dia adalah pemegang green card dan belum pernah didakwa.
Rumeysa Ozturk, mahasiswi Tufts asal Turki, ditahan usai menulis opini yang mengkritik kebijakan kampus. Dalam 24 jam, ia diterbangkan ke pusat detensi di Louisiana.
Badar Khan Suri, peneliti asal India di Georgetown, dituduh menyebarkan propaganda pro-Hamas karena hubungan keluarga politiknya meski tak pernah didakwa.
Yunseo Chung, mahasiswi Barnard asal Korea Selatan, kini menggugat pemerintah agar tidak dideportasi.
Momodou Taal, kandidat doktor di Cornell, meninggalkan AS setelah visanya dibatalkan. Dia mengaku rumahnya dikepung aparat sipil.
Xiaotian Liu, mahasiswa Tiongkok di Dartmouth, kehilangan visa tanpa pemberitahuan dan digugurkan dari program doktoralnya.
Kisah-kisah ini memperlihatkan bagaimana imigrasi, keamanan nasional, dan politik kampus saling bersilangan. AS dulu menawarkan "American Dream" bagi pelajar internasional.
Sekarang, banyak dari mereka justru terbangun dalam mimpi buruk yang nyata, tanpa visa, tanpa kepastian hukum, dan tanpa perlindungan atas kebebasan akademik.
Pertanyaannya bukan lagi soal siapa yang dideportasi. Tetapi siapa yang akan berbicara setelah mereka pergi?
RELATED ARTICLES
Ketika Visa Menjadi Senjata Politik, Trump Deportasi Mahasiswa Asing
Ribuan mahasiswa asing yang sedang belajar di kampus-kampus bergengsi di AS tiba-tiba dicabut visanya oleh Presiden Trump. Apa penyebabnya?

Context.id, JAKARTA - Di bawah masa jabatan keduanya, Presiden AS Donald Trump kembali mengguncang dunia pendidikan tinggi. Kali ini, sasarannya bukan universitas liberal, melainkan mahasiswa asing yang vokal terhadap konflik Timur Tengah.
Seperti dilansir dari Al Jazeera, sejak 20 Januari 2025, ribuan mahasiswa internasional mendapati status visa mereka dicabut secara sepihak. Di antara mereka ada yang terlibat demonstrasi pro-Palestina di kampus, ada pula yang hanya pernah menyatakan simpati untuk Gaza di media sosial.
Beberapa bahkan ditahan, tanpa dakwaan, tanpa pemberitahuan, tanpa sempat mengemasi hidup mereka.
Gedung Putih mengeklaim langkah ini sebagai cara "membersihkan kampus dari aktivisme radikal". Namun, bagi para mahasiswa yang terkena dampaknya, yang terjadi justru sebaliknya: mereka merasa dikriminalisasi karena pendapat dan identitas mereka.
Dari Harvard sampai Ohio State
Data dari Inside Higher Ed menunjukkan hingga 17 April, 1.489 pelajar telah kehilangan visa mereka. Dampaknya menyebar ke lebih dari 240 kampus di seluruh negeri, dari Harvard hingga kampus kecil liberal arts di Midwest.
Pemerintah berdalih ini demi menjaga ketertiban kampus. Namun, pengacara imigrasi seperti Mohammad Ali Syed melihatnya sebagai pelanggaran serius atas prinsip due process.
“Banyak yang visanya dicabut bukan karena protes, melainkan karena pelanggaran kecil—seperti ngebut atau parkir ilegal," kata dia. “Bahkan ada yang tidak diberi alasan sama sekali.”
Sejumlah kampus, termasuk George Mason University, mulai menyuarakan protes dan menyediakan bantuan hukum untuk mahasiswa mereka.
Di balik statistik itu ada ketakutan yang lebih luas. Hafsa Kanjwal, dosen di Lafayette College, menyebut atmosfer di kampus makin mencekam.
"Mahasiswa asing tak lagi yakin bisa pulang ke negara asal mereka jika keluar dari AS untuk liburan. Beberapa bahkan tak punya tempat kembali karena konflik di negara mereka," ujarnya.
Mahasiswa mulai menonaktifkan media sosial. Beberapa menyembunyikan identitas politiknya. "Sekarang, menulis di Instagram bisa membatalkan visa," ujar seorang dosen yang mewanti-wanti agar namanya tak disebut.
Trump, tampaknya, sedang mengirim pesan kebebasan berbicara bukan hak universal terutama jika kamu bukan warga negara AS.
Siapa yang jadi korban?
Mahmoud Khalil, lulusan Columbia, ditangkap di apartemennya setelah dituduh “berafiliasi dengan Hamas” tanpa bukti. Padahal dia adalah pemegang green card dan belum pernah didakwa.
Rumeysa Ozturk, mahasiswi Tufts asal Turki, ditahan usai menulis opini yang mengkritik kebijakan kampus. Dalam 24 jam, ia diterbangkan ke pusat detensi di Louisiana.
Badar Khan Suri, peneliti asal India di Georgetown, dituduh menyebarkan propaganda pro-Hamas karena hubungan keluarga politiknya meski tak pernah didakwa.
Yunseo Chung, mahasiswi Barnard asal Korea Selatan, kini menggugat pemerintah agar tidak dideportasi.
Momodou Taal, kandidat doktor di Cornell, meninggalkan AS setelah visanya dibatalkan. Dia mengaku rumahnya dikepung aparat sipil.
Xiaotian Liu, mahasiswa Tiongkok di Dartmouth, kehilangan visa tanpa pemberitahuan dan digugurkan dari program doktoralnya.
Kisah-kisah ini memperlihatkan bagaimana imigrasi, keamanan nasional, dan politik kampus saling bersilangan. AS dulu menawarkan "American Dream" bagi pelajar internasional.
Sekarang, banyak dari mereka justru terbangun dalam mimpi buruk yang nyata, tanpa visa, tanpa kepastian hukum, dan tanpa perlindungan atas kebebasan akademik.
Pertanyaannya bukan lagi soal siapa yang dideportasi. Tetapi siapa yang akan berbicara setelah mereka pergi?
POPULAR
RELATED ARTICLES