Mengapa Mantan Presiden Filipina Duterte Ditangkap ICC?
Rodrigo Duterte tidak segan-segan meminta warganya untuk membunuh pengedar dan pecandu narkoba
Context.id, JAKARTA - Rodrigo Duterte, mantan Presiden Filipina yang dikenal dengan kebijakan kerasnya dalam memerangi narkoba, kini menghadapi tuntutan serius dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).
Kampanye tembak mati yang ia terapkan selama masa jabatannya kini membawa konsekuensi hukum yang mengarah pada penangkapannya.
Namun, apa sebenarnya yang terjadi dalam kampanye ini dan bagaimana kronologi yang membawa Duterte ke penahanan?
Pada 2016, Rodrigo Duterte mulai memimpin Filipina dengan tekad kuat untuk menanggulangi peredaran narkoba yang dianggap mengancam masa depan bangsa.
Dalam pidatonya yang berani, Duterte tidak segan-segan meminta warganya untuk membunuh pengedar dan pecandu narkoba.
"Saya tidak peduli tentang hak asasi manusia," kata Duterte, menegaskan kebijakan ekstremnya yang tak kenal kompromi.
Meskipun banyak yang mendukung, kebijakan ini segera menuai kritik tajam, baik di dalam negeri maupun internasional. Kampanye ini yang dikenal dengan nama "War on Drugs" telah menyebabkan ribuan nyawa melayang.
Data dari Kepolisian Filipina menyebutkan angka kematian mencapai 6.200 orang, namun kelompok-kelompok aktivis memperkirakan jumlahnya jauh lebih tinggi.
Sejak 2018, ICC mulai menyelidiki kampanye Duterte ini. Penyelidikan awal mencatat sedikitnya 12.000 orang tewas akibat operasi kepolisian dan aksi vigilante yang terjadi sepanjang kampanye tersebut.
Pada 2019, Duterte merespons dengan keras, mengancam akan menarik Filipina dari keanggotaan ICC. Hal itu pun terwujud, Filipina secara resmi keluar dari ICC, namun penyelidikan terhadapnya tetap berlangsung.
Pada September 2021, ICC mengeluarkan izin untuk penyelidikan penuh terhadap Duterte.
Laporan-laporan internasional mengungkapkan sekitar 30.000 orang bisa jadi menjadi korban dari kebijakan ini, yang menurut ICC berpotensi mengarah pada kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pada awal Maret 2025, ia akhirnya ditangkap setelah kembali dari perjalanan ke Hong Kong, dengan perintah penahanan dari ICC. Meskipun berada di balik jeruji besi, Duterte tetap menolak meminta maaf atas kebijakannya.
Kontributor: Renita Sukma
POPULAR
RELATED ARTICLES
Mengapa Mantan Presiden Filipina Duterte Ditangkap ICC?
Rodrigo Duterte tidak segan-segan meminta warganya untuk membunuh pengedar dan pecandu narkoba
Context.id, JAKARTA - Rodrigo Duterte, mantan Presiden Filipina yang dikenal dengan kebijakan kerasnya dalam memerangi narkoba, kini menghadapi tuntutan serius dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).
Kampanye tembak mati yang ia terapkan selama masa jabatannya kini membawa konsekuensi hukum yang mengarah pada penangkapannya.
Namun, apa sebenarnya yang terjadi dalam kampanye ini dan bagaimana kronologi yang membawa Duterte ke penahanan?
Pada 2016, Rodrigo Duterte mulai memimpin Filipina dengan tekad kuat untuk menanggulangi peredaran narkoba yang dianggap mengancam masa depan bangsa.
Dalam pidatonya yang berani, Duterte tidak segan-segan meminta warganya untuk membunuh pengedar dan pecandu narkoba.
"Saya tidak peduli tentang hak asasi manusia," kata Duterte, menegaskan kebijakan ekstremnya yang tak kenal kompromi.
Meskipun banyak yang mendukung, kebijakan ini segera menuai kritik tajam, baik di dalam negeri maupun internasional. Kampanye ini yang dikenal dengan nama "War on Drugs" telah menyebabkan ribuan nyawa melayang.
Data dari Kepolisian Filipina menyebutkan angka kematian mencapai 6.200 orang, namun kelompok-kelompok aktivis memperkirakan jumlahnya jauh lebih tinggi.
Sejak 2018, ICC mulai menyelidiki kampanye Duterte ini. Penyelidikan awal mencatat sedikitnya 12.000 orang tewas akibat operasi kepolisian dan aksi vigilante yang terjadi sepanjang kampanye tersebut.
Pada 2019, Duterte merespons dengan keras, mengancam akan menarik Filipina dari keanggotaan ICC. Hal itu pun terwujud, Filipina secara resmi keluar dari ICC, namun penyelidikan terhadapnya tetap berlangsung.
Pada September 2021, ICC mengeluarkan izin untuk penyelidikan penuh terhadap Duterte.
Laporan-laporan internasional mengungkapkan sekitar 30.000 orang bisa jadi menjadi korban dari kebijakan ini, yang menurut ICC berpotensi mengarah pada kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pada awal Maret 2025, ia akhirnya ditangkap setelah kembali dari perjalanan ke Hong Kong, dengan perintah penahanan dari ICC. Meskipun berada di balik jeruji besi, Duterte tetap menolak meminta maaf atas kebijakannya.
Kontributor: Renita Sukma
POPULAR
RELATED ARTICLES