Kontras Kekayaan di Balik Roda Grab dan Gojek Indonesia
Pendiri Grab dan Gojek berada di jajaran elite bisnis Asia Tenggara dengan kekayaan triliunan rupiah
Context.id, JAKARTA - Model bisnis layanan transportasi daring seperti Grab dan Gojek telah mengubah cara masyarakat Indonesia bepergian bahkan mengonsumsi makanan.
Namun, di balik inovasi ini, muncul ketimpangan mencolok antara kesejahteraan para pendiri perusahaan dengan kondisi ekonomi para pengemudi yang menjadi tulang punggung operasional mereka.
Pendiri Grab dan Gojek berada di jajaran elite bisnis Asia Tenggara. Anthony Tan, pendiri Grab, serta Nadiem Makarim, pendiri Gojek, telah mengantarkan perusahaan mereka menjadi raksasa teknologi dengan valuasi miliaran dolar.
Sebaliknya, para pengemudi yang menjalankan operasional sehari-hari kerap mengeluhkan pendapatan yang tidak menentu.
Sistem bagi hasil dan potongan komisi yang terus berubah, banyak pengemudi kesulitan memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Banyak pengemudi ojol yang mengeluhkan banyak insentif dipotong, tapi biaya potongan naik sementara pesaing makin banyak sehingga membuat pendapatan menurun jauh.
Sejak awal, Grab dan Gojek menempatkan diri sebagai perusahaan teknologi, bukan penyedia layanan transportasi.
Model bisnis ini membuat mereka tidak menganggap pengemudi sebagai karyawan tetap, melainkan mitra independen.
Pendekatan ini terlihat membuat fleksibilitas kerja bagi pengemudi. Namun, di sisi lain, mereka tidak mendapatkan jaminan sosial, asuransi kesehatan, atau perlindungan tenaga kerja yang biasanya dinikmati pekerja formal.
Banyak studi yang memperlihatkan bagaimana skema sharing economy ala perusahaan ojol ini memiliki banyak kekurangan.
Ini menciptakan peluang ekonomi baru, tetapi juga membuka ruang eksploitasi. Tanpa regulasi yang jelas, kesejahteraan pengemudi bisa terus tergerus.
POPULAR
RELATED ARTICLES
Kontras Kekayaan di Balik Roda Grab dan Gojek Indonesia
Pendiri Grab dan Gojek berada di jajaran elite bisnis Asia Tenggara dengan kekayaan triliunan rupiah
Context.id, JAKARTA - Model bisnis layanan transportasi daring seperti Grab dan Gojek telah mengubah cara masyarakat Indonesia bepergian bahkan mengonsumsi makanan.
Namun, di balik inovasi ini, muncul ketimpangan mencolok antara kesejahteraan para pendiri perusahaan dengan kondisi ekonomi para pengemudi yang menjadi tulang punggung operasional mereka.
Pendiri Grab dan Gojek berada di jajaran elite bisnis Asia Tenggara. Anthony Tan, pendiri Grab, serta Nadiem Makarim, pendiri Gojek, telah mengantarkan perusahaan mereka menjadi raksasa teknologi dengan valuasi miliaran dolar.
Sebaliknya, para pengemudi yang menjalankan operasional sehari-hari kerap mengeluhkan pendapatan yang tidak menentu.
Sistem bagi hasil dan potongan komisi yang terus berubah, banyak pengemudi kesulitan memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Banyak pengemudi ojol yang mengeluhkan banyak insentif dipotong, tapi biaya potongan naik sementara pesaing makin banyak sehingga membuat pendapatan menurun jauh.
Sejak awal, Grab dan Gojek menempatkan diri sebagai perusahaan teknologi, bukan penyedia layanan transportasi.
Model bisnis ini membuat mereka tidak menganggap pengemudi sebagai karyawan tetap, melainkan mitra independen.
Pendekatan ini terlihat membuat fleksibilitas kerja bagi pengemudi. Namun, di sisi lain, mereka tidak mendapatkan jaminan sosial, asuransi kesehatan, atau perlindungan tenaga kerja yang biasanya dinikmati pekerja formal.
Banyak studi yang memperlihatkan bagaimana skema sharing economy ala perusahaan ojol ini memiliki banyak kekurangan.
Ini menciptakan peluang ekonomi baru, tetapi juga membuka ruang eksploitasi. Tanpa regulasi yang jelas, kesejahteraan pengemudi bisa terus tergerus.
POPULAR
RELATED ARTICLES