Stories - 10 June 2022

Polemik Penunjukan Pejabat Kepala Daerah Sementara

Penunjukan 271 pejabat kepala daerah sementara oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dinilai tidak transparan dan partisipatif.


Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian berbincang dengan para gubernur sementara yang baru dilantik, Kamis (12/5/2022). - Antara -

Context.id, JAKARTA -  Penunjukan 271 pejabat kepala daerah sementara oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dinilai tidak transparan dan partisipatif.

Para gubernur, bupati, dan walikota ini, ditunjuk sebagai petugas sementara, karena menunggu Pilkada serentak pada 2024. Sayangnya, penunjukan ini dilakukan oleh Kemendagri tanpa sepengetahuan masyarakat, bahkan DPRD setempat. Padahal seharusnya para kepala daerah merupakan sosok yang diketahui rekam jejaknya oleh masyarakat. 

Menurut Manager Transparency International Indonesia, Alvin Nicola menyatakan bahwa pejabat publik merupakan orang yang bertugas untuk kepentingan masyarakat. Namun, kadang kala, terdapat jurang antara kepentingan pemerintah dan masyarakat.

“Pemilihan pejabat di banyak daerah, pada nantinya ujung-ujungnya adalah untuk kepentingan masyarakat. Tapi tampaknya memang ada gap ada ruang yang sangat jauh antara kepentingan publik dan kepentingan elit,” ujar Alvin.

Hal ini diperparah dengan periode jabatan yang mencapai 2,5 tahun atau setengah dari masa jabatan normal. Lalu, jumlah penduduk yang akan diperintah oleh pegawai negeri ini mencapai 240 juta orang atau 89 persen dari jumlah penduduk Indonesia.

Oleh karena itu, penunjukan kepala daerah sepihak ini juga bisa menimbulkan beberapa dampak negatif.  “Salah satu isu krusial atau dampak yang akan hadir dari proses pemilihan yang tidak cukup demokratis dan terbuka, justru akan merugikan demokrasi itu sendiri dan nantinya masyarakat,” ujar Alvin.


1.  Resistensi para gubernur


Penunjukan kepala daerah yang berasal dari pusat akan membuat gubernur setempat kecewa dan berkemungkinan berdampak pada kinerja sehari-hari. 

Selain itu, efek dari penunjukan dari pusat ini juga langsung terjadi pada Pj Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Dimana, kandidat terpilih, Dahri Saleh mundur dari jabatannya 15 menit setelah dilantik.


2. Rentan konflik kepentingan


Beberapa Pj yang terpilih masih menjabat sebagai ASN, sehingga berpotensi melanggar asas profesionalisme. 


3. Rentan Korupsi


Dengan pemilihan yang tidak transparan, tidak menutup kemungkinan dengan adanya budaya korupsi, seperti jual-beli jabatan. Lalu, hal ini juga akan berpengaruh pada kinerja daerah itu kedepannya.

“Dan lagi-lagi bukan hanya menyebabkan birokrasi yang banyak, biaya pelayanan yang mahal dan juga membuka ruang bagi para aktor birokrasi yang korup tadi untuk memperkaya dirinya sendiri ataupun kelompok,” ujar Alvin.


Penulis : Crysania Suhartanto

Editor   : Putri Dewi

MORE  STORIES

Konflik Iran-Israel Bebani Pemerintahan Prabowo

Bagi presiden baru kondisi global yang penuh ketidakpastian bisa menghambat kebijakan ekonominya

Noviarizal Fernandez | 18-04-2024

Lawan Akun Bot, X Berlakukan Biaya Bagi Pengguna Baru

Seluruh akun baru di X diwajibkan untuk membayar ‘biaya kecil’ yang disebut oleh Elon sebagai bentuk verifikasi

Context.id | 18-04-2024

Tren Properti Indonesia, China dan Hongkong dari Selangit hingga Diobral

Harga properti Indonesia, China, dan Hongkong mengalami berbagai sentimen di tengah gejolak ekonomi global

Ririn oktaviani | 18-04-2024

Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Memicu Depresi, Kenapa?

Data Kemenkes RI per Maret 2024 mencatat sebanyak 22,4 % atau sekitar 2.716 calon dokter spesialis mengalami gejala depresi akibat PPDS.

Context.id | 18-04-2024