Stories - 10 June 2022
Polemik Penunjukan Pejabat Kepala Daerah Sementara
Penunjukan 271 pejabat kepala daerah sementara oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dinilai tidak transparan dan partisipatif.
Context.id, JAKARTA - Penunjukan 271 pejabat kepala daerah sementara oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dinilai tidak transparan dan partisipatif.
Para gubernur, bupati, dan walikota ini, ditunjuk sebagai petugas sementara, karena menunggu Pilkada serentak pada 2024. Sayangnya, penunjukan ini dilakukan oleh Kemendagri tanpa sepengetahuan masyarakat, bahkan DPRD setempat. Padahal seharusnya para kepala daerah merupakan sosok yang diketahui rekam jejaknya oleh masyarakat.
Menurut Manager Transparency International Indonesia, Alvin Nicola menyatakan bahwa pejabat publik merupakan orang yang bertugas untuk kepentingan masyarakat. Namun, kadang kala, terdapat jurang antara kepentingan pemerintah dan masyarakat.
“Pemilihan pejabat di banyak daerah, pada nantinya ujung-ujungnya adalah untuk kepentingan masyarakat. Tapi tampaknya memang ada gap ada ruang yang sangat jauh antara kepentingan publik dan kepentingan elit,” ujar Alvin.
Hal ini diperparah dengan periode jabatan yang mencapai 2,5 tahun atau setengah dari masa jabatan normal. Lalu, jumlah penduduk yang akan diperintah oleh pegawai negeri ini mencapai 240 juta orang atau 89 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Oleh karena itu, penunjukan kepala daerah sepihak ini juga bisa menimbulkan beberapa dampak negatif. “Salah satu isu krusial atau dampak yang akan hadir dari proses pemilihan yang tidak cukup demokratis dan terbuka, justru akan merugikan demokrasi itu sendiri dan nantinya masyarakat,” ujar Alvin.
1. Resistensi para gubernur
Penunjukan kepala daerah yang berasal dari pusat akan membuat gubernur setempat kecewa dan berkemungkinan berdampak pada kinerja sehari-hari.
Selain itu, efek dari penunjukan dari pusat ini juga langsung terjadi pada Pj Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Dimana, kandidat terpilih, Dahri Saleh mundur dari jabatannya 15 menit setelah dilantik.
2. Rentan konflik kepentingan
Beberapa Pj yang terpilih masih menjabat sebagai ASN, sehingga berpotensi melanggar asas profesionalisme.
3. Rentan Korupsi
Dengan pemilihan yang tidak transparan, tidak menutup kemungkinan dengan adanya budaya korupsi, seperti jual-beli jabatan. Lalu, hal ini juga akan berpengaruh pada kinerja daerah itu kedepannya.
“Dan lagi-lagi bukan hanya menyebabkan birokrasi yang banyak, biaya pelayanan yang mahal dan juga membuka ruang bagi para aktor birokrasi yang korup tadi untuk memperkaya dirinya sendiri ataupun kelompok,” ujar Alvin.
Penulis : Crysania Suhartanto
Editor : Putri Dewi
MORE STORIES
Konflik Iran-Israel Bebani Pemerintahan Prabowo
Bagi presiden baru kondisi global yang penuh ketidakpastian bisa menghambat kebijakan ekonominya
Noviarizal Fernandez | 18-04-2024
Lawan Akun Bot, X Berlakukan Biaya Bagi Pengguna Baru
Seluruh akun baru di X diwajibkan untuk membayar ‘biaya kecil’ yang disebut oleh Elon sebagai bentuk verifikasi
Context.id | 18-04-2024
Tren Properti Indonesia, China dan Hongkong dari Selangit hingga Diobral
Harga properti Indonesia, China, dan Hongkong mengalami berbagai sentimen di tengah gejolak ekonomi global
Ririn oktaviani | 18-04-2024
Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Memicu Depresi, Kenapa?
Data Kemenkes RI per Maret 2024 mencatat sebanyak 22,4 % atau sekitar 2.716 calon dokter spesialis mengalami gejala depresi akibat PPDS.
Context.id | 18-04-2024
A modern exploration of business, societies, and ideas.
Powered by Bisnis Indonesia.
Copyright © 2024 - Context
Copyright © 2024 - Context