Kapal Bekas dari Luar Negeri Bikin Pusing Indonesia
Kisah Indonesia mendapatkan kapal bekas bukan kali ini saja, tapi juga pernah terjadi saat era Orde Baru yang saat itu diinisiasi BJ Habibie selaku Menteri Riset dan Teknologi
Context.id, JAKARTA - Indonesia mendapatkan hibah kapal dari Korea Selatan, yaitu 1 unit kapal Patrol Combat Corvette (PCC) Bucheon 773 bekas untuk TNI Angkatan Laut.
Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid mengatakan bahwa hibah kapal dari Korea Selatan ke RI tersebut sudah disetujui dalam Rapat Kerja Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI dengan Komisi 1 DPR RI, pekan lalu.
"Komisi I menyetujui penerimaan hibah berupa 1 unit kapal Patrol Combat Corvette [PCC] ROK [Republic of Korea] Bucheon 773 dari pemerintah Korea Selatan kepada TNI AL sesuai surat Menteri Pertahanan Nomor B/2471/M/XII/2023 tertanggal 19 Desember 2023 perihal Persetujuan Penerimaan Hibah Alpalhankam dari dan ke luar negeri," katanya.
Beruntung kali ini skema transfer kapal bekas itu adalah hibah, bukan dibeli seperti kala Indonesia memborong kapal-kapal bekas eks Jerman Timur pada 1993. Pembelian itu atas dorongan B.J Habibie yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi.
Adapun pembelian terdiri dari 16 Korvet kelas Parchim, 14 kapal pendarat tank dan 12 kapal penyapu ranjau. Kesepakatan untuk membeli puluhan kapal dari Angkatan Laut Jerman Timur menelan biaya sebesar US$482 juta.
Setelah reformasi, ketika tidak terjadi pembredelan media massa, informasi pembelian kapal bekas itu dipersoalkan karena dinilai tidak sesuai dengan kondisi Indonesia.
Pasalnya, ketika diproduksi, kapal-kapal tersebut diproyeksikan untuk beroperasi di perbatasan Laut Baltik, bukan di perairan tropis seperti di Indonesia.
Dihimpun dari berbagai sumber, sebelum kapal datang ke Tanah Air, kabarnya sempat terjadi tarik ulur antara Habibie dan Menteri Keuangan ketika itu, Mar'ie Muhammad. Menkeu enggan membeli kapal tersebut lantaran harga yang dipatok Menristek berbeda dengan hitungan Menkeu.
Buntutnya panjang. Akibat memberi barang bekas, mau tidak mau, harus ada penyisihan dana untuk biaya perbaikan dan perawatan. Pada 2001-2003, Indonesia menerima pinjaman dari Jerman untuk biaya perbaikan dan perawatan serta bongkar-pasang (overhaul) kapal-kapal tersebut dengan nilai 65,6 juta Euro.
Lembaga masyarakat sipil, Infid kala itu mendesak pemerintah mengusulkan penyelesaian utang untuk pembelian dan pemeliharaan 39 kapal perang bekas Jerman Timur tersebut dengan mekanisme yang memberi manfaat bagi pembangunan di Indonesia.
LSM itu juga mendesak Pemerintah memperjuangkan diplomasi penghapusan utang ini melalui mekanisme perundingan bilateral sebagai negara-negara yang sudah lama menjalin kerja sama ekonomi dan politik secara saling menguntungkan.
Selain itu, pemerintah diminta melakukan audit terhadap mekanisme pengadaan persenjataan yang biaya pembelian dan pemeliharaan dibiayai oleh utang.
RELATED ARTICLES
Kapal Bekas dari Luar Negeri Bikin Pusing Indonesia
Kisah Indonesia mendapatkan kapal bekas bukan kali ini saja, tapi juga pernah terjadi saat era Orde Baru yang saat itu diinisiasi BJ Habibie selaku Menteri Riset dan Teknologi
Context.id, JAKARTA - Indonesia mendapatkan hibah kapal dari Korea Selatan, yaitu 1 unit kapal Patrol Combat Corvette (PCC) Bucheon 773 bekas untuk TNI Angkatan Laut.
Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid mengatakan bahwa hibah kapal dari Korea Selatan ke RI tersebut sudah disetujui dalam Rapat Kerja Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI dengan Komisi 1 DPR RI, pekan lalu.
"Komisi I menyetujui penerimaan hibah berupa 1 unit kapal Patrol Combat Corvette [PCC] ROK [Republic of Korea] Bucheon 773 dari pemerintah Korea Selatan kepada TNI AL sesuai surat Menteri Pertahanan Nomor B/2471/M/XII/2023 tertanggal 19 Desember 2023 perihal Persetujuan Penerimaan Hibah Alpalhankam dari dan ke luar negeri," katanya.
Beruntung kali ini skema transfer kapal bekas itu adalah hibah, bukan dibeli seperti kala Indonesia memborong kapal-kapal bekas eks Jerman Timur pada 1993. Pembelian itu atas dorongan B.J Habibie yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi.
Adapun pembelian terdiri dari 16 Korvet kelas Parchim, 14 kapal pendarat tank dan 12 kapal penyapu ranjau. Kesepakatan untuk membeli puluhan kapal dari Angkatan Laut Jerman Timur menelan biaya sebesar US$482 juta.
Setelah reformasi, ketika tidak terjadi pembredelan media massa, informasi pembelian kapal bekas itu dipersoalkan karena dinilai tidak sesuai dengan kondisi Indonesia.
Pasalnya, ketika diproduksi, kapal-kapal tersebut diproyeksikan untuk beroperasi di perbatasan Laut Baltik, bukan di perairan tropis seperti di Indonesia.
Dihimpun dari berbagai sumber, sebelum kapal datang ke Tanah Air, kabarnya sempat terjadi tarik ulur antara Habibie dan Menteri Keuangan ketika itu, Mar'ie Muhammad. Menkeu enggan membeli kapal tersebut lantaran harga yang dipatok Menristek berbeda dengan hitungan Menkeu.
Buntutnya panjang. Akibat memberi barang bekas, mau tidak mau, harus ada penyisihan dana untuk biaya perbaikan dan perawatan. Pada 2001-2003, Indonesia menerima pinjaman dari Jerman untuk biaya perbaikan dan perawatan serta bongkar-pasang (overhaul) kapal-kapal tersebut dengan nilai 65,6 juta Euro.
Lembaga masyarakat sipil, Infid kala itu mendesak pemerintah mengusulkan penyelesaian utang untuk pembelian dan pemeliharaan 39 kapal perang bekas Jerman Timur tersebut dengan mekanisme yang memberi manfaat bagi pembangunan di Indonesia.
LSM itu juga mendesak Pemerintah memperjuangkan diplomasi penghapusan utang ini melalui mekanisme perundingan bilateral sebagai negara-negara yang sudah lama menjalin kerja sama ekonomi dan politik secara saling menguntungkan.
Selain itu, pemerintah diminta melakukan audit terhadap mekanisme pengadaan persenjataan yang biaya pembelian dan pemeliharaan dibiayai oleh utang.
POPULAR
RELATED ARTICLES