Share

Stories 20 Mei 2024

Pendidikan Tinggi Adalah Barang Publik ?

Meletakkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersiar adalah salah besar.

Ilustrasi biaya pendidikan mahal/Aspirasi Online

Context.id, JAKARTA- Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia mendesak pemerintah menjadikan pendidikan tinggi sebagai public good atau barang publik.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, pernyataan pemerintah bahwa pendidikan tinggi bukanlah kebutuhan utama melukai perasaan dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah.

“Meletakkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersiar adalah salah besar. Jika perguruan tinggi adalah kebutuhan tersier, lalu negara lepas tangan soal pembiayaan, bagaimana dengan nasib pendidikan dasar dan menengah yang merupakan kebutuhan primer, apakah pemerintah sudah membiayai,” tanya dia, Jumat (17/5/2024).

Ternyata, tuturnya, pembiayaan hanya dilakukan dengan skema bantuan (BOS), bukan pembiayaan penuh.

Akibatnya, ditemukan jumlah anak tidak sekolah (ATS) yang masih menggunung. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, ATS masih ditemukan di tiap jenjang, SD (0,67%), SMP (6,93%), dan SMA/SMK (21,61%).

Jika dikalkulasi, JPPI mengestimasi populasi ATS ini mencapai 3 juta lebih. Ini jumlah yang sangat besar.

Jadi menurutnya, faktor utama penyebab ATS ini adalah soal ekonomi, kemampuan untuk membayar biaya sekolah.

Artinya, pendidikan wajib dasar dan menengah saja masih berbayar, dan pendidikan bebas biaya seperti diamanahkan oleh UUD 1945 (Pasal 31) dan UU Sisdiknas (Pasal 34), masih sebatas retorika belaka.

Dia melanjutkan, berdasarkan data BPS pada Maret 2023, hanya ada 10,15% penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang sudah menamatkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi.

Akses yang masih sangat kecil ini, menurut Ubaid, karena biaya yang mahal. Apalagi pemerintah menganggap PT ini sebagai kebutuhan tersier.

Karena itu, JPPI menuntut agar pemerintah mengembalikan pendidikan kita, termasuk di pendidikan tinggi, sebagai public good dan menolak segala bentuk komersialisasi di perguruan tinggi, khususnya di PTNBH.

Tuntutan itu menurutnya beralasan karena pendidikan menyangkut hajat hidup dan kebutuhan seluruh warga negara yang harus dipenuhi dan Amanah UUD 1945 salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.

“Pemerintah sebagai pengemban amanah ini, harus menjalankan tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa, tentu pendidikan hinga SMA/SMK saja tidak cukup, anak-anak Indonesia harus bisa mendapatkan layanan pendidikan hinggi perguruan tinggi. Karena itu, peran dan keberpihakan pemerintah sangat penting,” terangnya.

Jadi, kata dia, negara harus hadir dan berpihak kepada semua dalam menjalankan amanah konstitusi dan bertanggung jawab penuh untuk menyediakan layanan pendidikan tinggi.

Hal ini harus dilakukan pemerintah supaya setiap warga negara mendapat kesempatan sama dan tidak berkompetisi saling mengalahkan  dalam mengakses pendidikan tinggi.

Karena itu, JPPI merekomendasikan agar Kemendikburistek tidak menjadikan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier, karena menyalahi amanah UUD 1945.

Selain itu, DPR, Kemendikbudristek, bersama masyarakat sipil harus melakukan evaluasi total kebijakan Kampus Merdeka yang mendorong PTN menjadi PTN-BH yang jelas berperan besar dalam melambungkan tingginya biaya UKT.

Pasalnya, Pemerintah tidak lagi menanggung biaya pendidikan, lalu dialihkan beban tersebut ke mahasiswa melalui skema UKT.

“Kemendikbudristek harus cabut Permendikbudristek No.2 tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi, karena ini dijadikan landasan kampus dalam menentukan tarif besaran UKT,” serunya.

Tidak hanya itu, pimpinan kampus harus melindungi hak mahasiswa untuk bersuara dan bisa melanjutkan kuliah dan tidak melakukan persekusi dan intimidasi mahasisa yang sedang berpendapat di muka umum.

Pemimpin kampus pun harus memperbaiki data KIP Kuliah supaya tepat sasaran dan menyusun Kembali besaran UKT disesuaikan dengan kemampuan bayar mahasiswa.

“JPPI juga meminta para guru besar di kampus untuk tidak diam dalam menyikapi protes dan polemik soal UKT ini. Jangan hanya ketika hajatan politik saja, para guru besar ini bersuara, tapi saat mahasiswa butuh dukungan, para guru besar di kampus harus bersuara dan mengembalikan marwah kampus sebagai tempat mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sebagai lahan bisnis,” pungkasnya.



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 20 Mei 2024

Pendidikan Tinggi Adalah Barang Publik ?

Meletakkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersiar adalah salah besar.

Ilustrasi biaya pendidikan mahal/Aspirasi Online

Context.id, JAKARTA- Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia mendesak pemerintah menjadikan pendidikan tinggi sebagai public good atau barang publik.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, pernyataan pemerintah bahwa pendidikan tinggi bukanlah kebutuhan utama melukai perasaan dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah.

“Meletakkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersiar adalah salah besar. Jika perguruan tinggi adalah kebutuhan tersier, lalu negara lepas tangan soal pembiayaan, bagaimana dengan nasib pendidikan dasar dan menengah yang merupakan kebutuhan primer, apakah pemerintah sudah membiayai,” tanya dia, Jumat (17/5/2024).

Ternyata, tuturnya, pembiayaan hanya dilakukan dengan skema bantuan (BOS), bukan pembiayaan penuh.

Akibatnya, ditemukan jumlah anak tidak sekolah (ATS) yang masih menggunung. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, ATS masih ditemukan di tiap jenjang, SD (0,67%), SMP (6,93%), dan SMA/SMK (21,61%).

Jika dikalkulasi, JPPI mengestimasi populasi ATS ini mencapai 3 juta lebih. Ini jumlah yang sangat besar.

Jadi menurutnya, faktor utama penyebab ATS ini adalah soal ekonomi, kemampuan untuk membayar biaya sekolah.

Artinya, pendidikan wajib dasar dan menengah saja masih berbayar, dan pendidikan bebas biaya seperti diamanahkan oleh UUD 1945 (Pasal 31) dan UU Sisdiknas (Pasal 34), masih sebatas retorika belaka.

Dia melanjutkan, berdasarkan data BPS pada Maret 2023, hanya ada 10,15% penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang sudah menamatkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi.

Akses yang masih sangat kecil ini, menurut Ubaid, karena biaya yang mahal. Apalagi pemerintah menganggap PT ini sebagai kebutuhan tersier.

Karena itu, JPPI menuntut agar pemerintah mengembalikan pendidikan kita, termasuk di pendidikan tinggi, sebagai public good dan menolak segala bentuk komersialisasi di perguruan tinggi, khususnya di PTNBH.

Tuntutan itu menurutnya beralasan karena pendidikan menyangkut hajat hidup dan kebutuhan seluruh warga negara yang harus dipenuhi dan Amanah UUD 1945 salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.

“Pemerintah sebagai pengemban amanah ini, harus menjalankan tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa, tentu pendidikan hinga SMA/SMK saja tidak cukup, anak-anak Indonesia harus bisa mendapatkan layanan pendidikan hinggi perguruan tinggi. Karena itu, peran dan keberpihakan pemerintah sangat penting,” terangnya.

Jadi, kata dia, negara harus hadir dan berpihak kepada semua dalam menjalankan amanah konstitusi dan bertanggung jawab penuh untuk menyediakan layanan pendidikan tinggi.

Hal ini harus dilakukan pemerintah supaya setiap warga negara mendapat kesempatan sama dan tidak berkompetisi saling mengalahkan  dalam mengakses pendidikan tinggi.

Karena itu, JPPI merekomendasikan agar Kemendikburistek tidak menjadikan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier, karena menyalahi amanah UUD 1945.

Selain itu, DPR, Kemendikbudristek, bersama masyarakat sipil harus melakukan evaluasi total kebijakan Kampus Merdeka yang mendorong PTN menjadi PTN-BH yang jelas berperan besar dalam melambungkan tingginya biaya UKT.

Pasalnya, Pemerintah tidak lagi menanggung biaya pendidikan, lalu dialihkan beban tersebut ke mahasiswa melalui skema UKT.

“Kemendikbudristek harus cabut Permendikbudristek No.2 tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi, karena ini dijadikan landasan kampus dalam menentukan tarif besaran UKT,” serunya.

Tidak hanya itu, pimpinan kampus harus melindungi hak mahasiswa untuk bersuara dan bisa melanjutkan kuliah dan tidak melakukan persekusi dan intimidasi mahasisa yang sedang berpendapat di muka umum.

Pemimpin kampus pun harus memperbaiki data KIP Kuliah supaya tepat sasaran dan menyusun Kembali besaran UKT disesuaikan dengan kemampuan bayar mahasiswa.

“JPPI juga meminta para guru besar di kampus untuk tidak diam dalam menyikapi protes dan polemik soal UKT ini. Jangan hanya ketika hajatan politik saja, para guru besar ini bersuara, tapi saat mahasiswa butuh dukungan, para guru besar di kampus harus bersuara dan mengembalikan marwah kampus sebagai tempat mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sebagai lahan bisnis,” pungkasnya.



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Inovasi Kesehatan Mental: Mengobati Depresi Melalui Aplikasi Digital

Aplikasi Rejoyn menawarkan solusi inovatif untuk mengobati depresi dengan latihan emosional yang \"mereset \" sirkuit otak

Context.id . 30 October 2024

Lewat Pertukaran Pelajar, Hubungan Indonesia-Kazakhstan Makin Erat

Hubungan Indonesia-Kazakhstan semakin erat melalui acara \"Kazakhstan-Indonesia Friendship Society\" dan program pertukaran pelajar untuk generasi ...

Helen Angelia . 30 October 2024

Jam Kerja Rendah Tapi Produktivitas Tinggi, Berkaca dari Jerman

Data OECD menunjukkan bmeskipun orang Jerman hanya bekerja rata-rata 1.340 jam per tahun, partisipasi perempuan yang tinggi dan regulasi bagus mem ...

Context.id . 29 October 2024

Konsep Adrenal Fatigue Hanyalah Mitos dan Bukan Diagnosis yang Sahih

Konsep adrenal fatigue adalah mitos tanpa dasar ilmiah dan bukan diagnosis medis sah yang hanyalah trik marketing dari pendengung

Context.id . 29 October 2024