Share

Home Stories

Stories 06 Desember 2023

Indonesia Krisis Fatsun Politik

Ketiadaan etika dan fatsun dalam berpolitik melahirkan penguasa yang hanya mengejar kekuasaan semata.

Context.id, JAKARTA - Didik J Rachbini, Rektor Universitas Paramadina yang juga ekonom senior Indef menyoroti hilangnya etika dan tata krama politik dalam dunia politik Tanah Air. 

Menurut Didik, etika dan fatsun atau tata krama politik itu penting karena politik memerlukan hal-hal itu agar semuanya berjalan baik, indah dan nyaman.

“Di level bawah masih ada tata krama yang ingin mengembangkan hal tersebut. Tetapi di level kekuasaan sudah tidak ada,” ucapnya dalam diskusi bertajuk Fatsun Politik : Menuju Politik Yang Beretika dan Beradab Di Indonesia, Selasa (5/12/2023) malam.

Dia melanjutkan, ketiadaan fatsun dan etika politik melahirkan praktik demokrasi yang brutal dan hukum rimba karena tidak ada kontrol publik yang kuat serta absenya check and balance dari legislatif.

Hal itu menurutnya terjadi selama kurun waktu lima tahun terakhir.  Politisi ia sebut, menjadi tebal muka dan sekarang publik disuguhi drama pertarungan antarelit yang dulu bersatu.

“Kekuasaan yang ada sudah terlalu kuat dan otoriter. Lalu kini pecah dengan telah adanya perlawanan konflik satu dengan lainnya, antara yang dulu sangat mendukung kekuasaan namun sekarang berbalik. Dulu rakyat yang diadu domba oleh elit, kini elitnya yang lebih terbelah,” ucapnya.

Fenomena Relawan

Dia melanjutkan, ada satu fenomena dalam demokrasi Indonesia yang tidak disadari oleh publik yakni keberadaan relawan.

Proses demokrasi, tuturnya, yang sehat dibajak oleh peranan relawan di dalam kekuasaan. Hal ini, katanya, akan menjadi penyakit pada periode kepemimpinan di masa mendatang.

Pasalnya, relawan ini yang senantiasa menyanjung kekuasaan serta menjadi juru bungkam orang-orang kritis. Saat ini relawan itu sebagian menurutnya berpua-pura menjadi oposisi.

“Padahal selama sembilan tahun ini rayap-rayap demokrasi itu yang memuji-muji menjilat kekuasaan, membungkam elemen kritis dan mendorong kekuasaan ke arah otoriter. Untung tidak kejadian sampai bablas 3 periode. Kekuasaan yang didorong untuk berkuasa 3 periode berisiko untuk Indonesia seperti Rusia di bawah Putin,” tuturnya.

Karena itu, kata Didik, siapapun yang menjadi presiden nanti jika tetap memelihara relawan maka berpotensi menjadi pembajak demokrasi.

Namun jika relawan ini dikontrol oleh rule of law, demokrasi berjalan baik, maka akan baik pula jalannya pemerintahan.



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 06 Desember 2023

Indonesia Krisis Fatsun Politik

Ketiadaan etika dan fatsun dalam berpolitik melahirkan penguasa yang hanya mengejar kekuasaan semata.

Context.id, JAKARTA - Didik J Rachbini, Rektor Universitas Paramadina yang juga ekonom senior Indef menyoroti hilangnya etika dan tata krama politik dalam dunia politik Tanah Air. 

Menurut Didik, etika dan fatsun atau tata krama politik itu penting karena politik memerlukan hal-hal itu agar semuanya berjalan baik, indah dan nyaman.

“Di level bawah masih ada tata krama yang ingin mengembangkan hal tersebut. Tetapi di level kekuasaan sudah tidak ada,” ucapnya dalam diskusi bertajuk Fatsun Politik : Menuju Politik Yang Beretika dan Beradab Di Indonesia, Selasa (5/12/2023) malam.

Dia melanjutkan, ketiadaan fatsun dan etika politik melahirkan praktik demokrasi yang brutal dan hukum rimba karena tidak ada kontrol publik yang kuat serta absenya check and balance dari legislatif.

Hal itu menurutnya terjadi selama kurun waktu lima tahun terakhir.  Politisi ia sebut, menjadi tebal muka dan sekarang publik disuguhi drama pertarungan antarelit yang dulu bersatu.

“Kekuasaan yang ada sudah terlalu kuat dan otoriter. Lalu kini pecah dengan telah adanya perlawanan konflik satu dengan lainnya, antara yang dulu sangat mendukung kekuasaan namun sekarang berbalik. Dulu rakyat yang diadu domba oleh elit, kini elitnya yang lebih terbelah,” ucapnya.

Fenomena Relawan

Dia melanjutkan, ada satu fenomena dalam demokrasi Indonesia yang tidak disadari oleh publik yakni keberadaan relawan.

Proses demokrasi, tuturnya, yang sehat dibajak oleh peranan relawan di dalam kekuasaan. Hal ini, katanya, akan menjadi penyakit pada periode kepemimpinan di masa mendatang.

Pasalnya, relawan ini yang senantiasa menyanjung kekuasaan serta menjadi juru bungkam orang-orang kritis. Saat ini relawan itu sebagian menurutnya berpua-pura menjadi oposisi.

“Padahal selama sembilan tahun ini rayap-rayap demokrasi itu yang memuji-muji menjilat kekuasaan, membungkam elemen kritis dan mendorong kekuasaan ke arah otoriter. Untung tidak kejadian sampai bablas 3 periode. Kekuasaan yang didorong untuk berkuasa 3 periode berisiko untuk Indonesia seperti Rusia di bawah Putin,” tuturnya.

Karena itu, kata Didik, siapapun yang menjadi presiden nanti jika tetap memelihara relawan maka berpotensi menjadi pembajak demokrasi.

Namun jika relawan ini dikontrol oleh rule of law, demokrasi berjalan baik, maka akan baik pula jalannya pemerintahan.



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Paus dari Chicago, Leo XIV dan Langkah Baru Gereja Katolik

Dikenal cukup moderat tapi tetap memegang teguh doktrin gereja

Context.id . 09 May 2025

Diplomasi Olahraga RI-Inggris: Sumbangsih BritCham untuk Anak Indonesia

Program GKSC diharapkan dapat menjadi langkah awal perubahan positif anak-anak dalam hidup mereka.

Helen Angelia . 08 May 2025

Bobby Kertanegara Dapat Hadiah Spesial dari Pendiri Microsoft

Dari boneka paus untuk kucing presiden, hingga keris untuk sang filantropis. Momen yang memperlihatkan diplomasi tak selalu kaku.

Noviarizal Fernandez . 07 May 2025

Siap-siap, Sampah Antariksa Era Soviet Pulang Kampung ke Bumi

Diluncurkan Uni Soviet pada 1972, sayangnya wahana ini gagal menuju Venus karena roket pengangkutnya gagal total

Noviarizal Fernandez . 06 May 2025