Biaya Naik LRT Jabodebek Ideal Buat Kelas Pekerja?
Ada beberapa kondisi yang patut menjadi perhatian para pemangku kepentingan agar LRT Jabodebek optimal menarik kelas pekerja sebagai pengguna.
Context.id, JAKARTA - Beroperasinya kereta LRT Jabodebek berpotensi menjadi solusi buat beberapa isu sosial di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Namun, ada beberapa syarat dan kondisi yang patut menjadi perhatian para pemangku kepentingan.
Sebagai informasi, kereta listrik layang yang akan menghubungkan Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi ini tengah menjalani sesi uji coba sebelum resmi beroperasi secara komersial, rencananya pada Agustus 2023.
Beberapa masalah sosial yang berupaya diatasi, antara lain mengurangi kemacetan kawasan Greater Jakarta, mendongkrak multiplier effect di beberapa titik sekitar Ibu Kota, sampai menekan biaya transportasi kelas pekerja yang berdomisili di wilayah terkait.
Terkini, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pun telah menetapkan besaran tarif LRT Jabodebek senilai Rp5.000 untuk 1 km pertama, kemudian Rp700 untuk setiap km selanjutnya.
Pengamat Transportasi dari Unika Soegijapranata Djoko Setijowarno menjelaskan bahwa apabila biaya pulang-pergi dengan LRT Jabodebek masih berkisar Rp50.000 per hari, maka terbilang menarik buat warga Greater Jakarta.
"Kalau menyasar pekerja kalangan menengah dan menengah ke atas, Rp50.000 dan belum termasuk feeder [angkutan pengumpan] pun itu masih masuk akal. Tapi kalau lebih, akan jadi kurang menarik," jelasnya kepada Context.id, Rabu (26/7/2023).
Pria yang merupakan Waketum Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini menjelaskan alasannya berasal dari perbandingan biaya transportasi harian bagi kalangan menengah dan menengah ke atas yang menggunakan kendaraan pribadi.
Djoko sempat membuat survei buat kalangan pekerja di segmen tersebut, di mana biaya transportasi mereka berada di kisaran Rp75.000 sampai Rp100.000. Mencakup biaya BBM, jalan tol, dan rata-rata langganan parkir kantor.
Sementara itu, perhitungan kasar tarif LRT Jabodebek rute Cibubur Line (Dukuh Atas-Harjamukti) sejauh 24,3 km nilainya mencapai kisaran Rp21.000, sementara rute Bekasi Line (Dukuh Atas-Jati Mulya) sejauh 27,3 km akan memakan biaya Rp23.000.
Oleh sebab itu, menurut Djoko, layanan feeder atau transportasi penghubung stasiun merupakan prioritas yang perlu dikembangkan untuk membuat LRT Jabodebek menjadi jauh lebih menarik bagi mereka.
"Kalau pilihan feeder masih terbatas, apalagi hanya ada angkot, jelas tidak relevan buat mereka, walaupun harganya murah. Perlu diingat, segmen utama pengguna LRT Jabodebek adalah pekerja yang pendapatannya termasuk menengah ke atas. Mereka sudah punya demand soal kepastian, kecepatan dan kenyamanan," tambah Djoko.
Apabila belum terlihat ada pilihan feeder yang mencukupi, maka stasiun LRT Jabodebek akan menjadi peluang bagi perusahaan transportasi swasta. Baik penyedia taksi, ojek daring, bus mini, sampai angkutan konvensional.
Terlebih, lewat keterbatasan lahan di stasiun-stasiun terluar LRT Jabodebek, kebijakan park n ride pun jadi kurang relevan.
Kecuali, para pengguna merupakan warga yang berdomisili di kawasan properti dekat stasiun, alias masih dalam jangkauan kawasan TOD.
"Selain itu, kalau angkutan pengumpan LRT Jabodebek tidak diperhatikan dengan baik oleh pemerintah pusat dan daerah, maka yang muncul justru titik-titik kemacetan baru di dekat kawasan stasiun. Artinya, perlu juga ada kebijakan lalu-lintas baru di beberapa stasiun padat," tutupnya.
RELATED ARTICLES
Biaya Naik LRT Jabodebek Ideal Buat Kelas Pekerja?
Ada beberapa kondisi yang patut menjadi perhatian para pemangku kepentingan agar LRT Jabodebek optimal menarik kelas pekerja sebagai pengguna.
Context.id, JAKARTA - Beroperasinya kereta LRT Jabodebek berpotensi menjadi solusi buat beberapa isu sosial di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Namun, ada beberapa syarat dan kondisi yang patut menjadi perhatian para pemangku kepentingan.
Sebagai informasi, kereta listrik layang yang akan menghubungkan Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi ini tengah menjalani sesi uji coba sebelum resmi beroperasi secara komersial, rencananya pada Agustus 2023.
Beberapa masalah sosial yang berupaya diatasi, antara lain mengurangi kemacetan kawasan Greater Jakarta, mendongkrak multiplier effect di beberapa titik sekitar Ibu Kota, sampai menekan biaya transportasi kelas pekerja yang berdomisili di wilayah terkait.
Terkini, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pun telah menetapkan besaran tarif LRT Jabodebek senilai Rp5.000 untuk 1 km pertama, kemudian Rp700 untuk setiap km selanjutnya.
Pengamat Transportasi dari Unika Soegijapranata Djoko Setijowarno menjelaskan bahwa apabila biaya pulang-pergi dengan LRT Jabodebek masih berkisar Rp50.000 per hari, maka terbilang menarik buat warga Greater Jakarta.
"Kalau menyasar pekerja kalangan menengah dan menengah ke atas, Rp50.000 dan belum termasuk feeder [angkutan pengumpan] pun itu masih masuk akal. Tapi kalau lebih, akan jadi kurang menarik," jelasnya kepada Context.id, Rabu (26/7/2023).
Pria yang merupakan Waketum Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini menjelaskan alasannya berasal dari perbandingan biaya transportasi harian bagi kalangan menengah dan menengah ke atas yang menggunakan kendaraan pribadi.
Djoko sempat membuat survei buat kalangan pekerja di segmen tersebut, di mana biaya transportasi mereka berada di kisaran Rp75.000 sampai Rp100.000. Mencakup biaya BBM, jalan tol, dan rata-rata langganan parkir kantor.
Sementara itu, perhitungan kasar tarif LRT Jabodebek rute Cibubur Line (Dukuh Atas-Harjamukti) sejauh 24,3 km nilainya mencapai kisaran Rp21.000, sementara rute Bekasi Line (Dukuh Atas-Jati Mulya) sejauh 27,3 km akan memakan biaya Rp23.000.
Oleh sebab itu, menurut Djoko, layanan feeder atau transportasi penghubung stasiun merupakan prioritas yang perlu dikembangkan untuk membuat LRT Jabodebek menjadi jauh lebih menarik bagi mereka.
"Kalau pilihan feeder masih terbatas, apalagi hanya ada angkot, jelas tidak relevan buat mereka, walaupun harganya murah. Perlu diingat, segmen utama pengguna LRT Jabodebek adalah pekerja yang pendapatannya termasuk menengah ke atas. Mereka sudah punya demand soal kepastian, kecepatan dan kenyamanan," tambah Djoko.
Apabila belum terlihat ada pilihan feeder yang mencukupi, maka stasiun LRT Jabodebek akan menjadi peluang bagi perusahaan transportasi swasta. Baik penyedia taksi, ojek daring, bus mini, sampai angkutan konvensional.
Terlebih, lewat keterbatasan lahan di stasiun-stasiun terluar LRT Jabodebek, kebijakan park n ride pun jadi kurang relevan.
Kecuali, para pengguna merupakan warga yang berdomisili di kawasan properti dekat stasiun, alias masih dalam jangkauan kawasan TOD.
"Selain itu, kalau angkutan pengumpan LRT Jabodebek tidak diperhatikan dengan baik oleh pemerintah pusat dan daerah, maka yang muncul justru titik-titik kemacetan baru di dekat kawasan stasiun. Artinya, perlu juga ada kebijakan lalu-lintas baru di beberapa stasiun padat," tutupnya.
POPULAR
RELATED ARTICLES