Menanti Misi BPKH yang Belum Selesai
Persoalan rutin yang dihadapi oleh umat muslim di Indonesia adalah kenaikan ongkos naik haji yang cukup besar dari tahun ke tahun.
Context.id, JAKARTA - Kenaikan ongkos haji tiap tahunnya menjadi problem klasik yang terus dihadapi umat muslim Indonesia. Pasalnya, kenaikan itu memberatkan masyarakat yang ingin berhaji karena ongkosnya cukup besar.
Padahal, persoalan ini bisa ditanggulangi jika Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) bisa mengambil langkah untuk berinvestasi ke sektor riil.
Berdasarkan catatan Context, sebelumnya kepengurusan BPKH yang lalu sudah mencanangkan investasi di sektor riil, bahkan hampir dieksekusi. Akan tetapi rencana itu tidak terealisasi hingga berakhirnya masa kepengurusan .
Kala itu, Anggota BPKH Bidang Investasi dan Kerjasama Luar Negeri Hurriyah El Islamy membeberkan rencana badan itu masuk ke beberapa sektor riil di Arab Saudi, karena semakin membengkaknya biaya haji.
Sebagai contoh, pada 2021, biaya akomodasi hajii mulai dari penginapan di tenda dan makan, untuk semalam sudah mencapai Rp10 juta. Biaya itu masih di luar biaya transportasi pesawat terbang. Para jemaah akan menghabiskan waktu selama 45 hari di Arab Saudi sehingga biaya totalnya mencapai Rp450 juta.
“Bisa dibayangkan, tidak mungkin mereka bayar Rp450 juta. Itu di luar pesawat. Itu harga tenda,” terangnya.
Karena itu, BPKH menurutnya perlu melakukan langkah mengontrol harga dengan cara masuk ke sektor riil di Arab Saudi, karena jika tidak menjadi pemain di sana, Indonesia tidak akan memiliki posisi tawar untuk menjaga efisiensi biaya haji.
“Kita tidak bisa mendikte pihak Arab Saudi soal harga. Ke depan kalau dibuka open market siapa bayar duluan dia yang dapat sehingga satu-satunya kita masuk ke sektor investasi yang dibutuhkan oleh jemaah haji asal Indonesia di sana. Kalau harga selalu naik kapan mereka bisa berangkat,” tambahnya.
Dia melanjutkan, dengan BPJH berinvestasi di sektor riil maka saat biaya naik operasional naik, margin BPJH dari investasi itu ikut naik yang kemudian akan disubsidikan kembali ke publik, termasuk ke para calon jemaah haji.
“Itu cara smart. Karena itu program quick win ini harus segera dilakukan yang meliputi makanan, hotel, transportasi, rumah sakit. Ini esensial bahkan ke depannya ada pabrik bus karena kami sudah analisis kondisi transportasi di Saudi," ucapnya.
Di Saudi, semua impor dan mereka tiap tahun jumlahnya harus sekian banyak untuk mengakomodasi 2,5 juta jemaah, belum umrah dan sesuai visi 2030, kapasitasnya akan naik dua kali lipat.
Hurriyah sudah memperkirakan pada 2023 pelaksanaan haji sudah kembali ke situasi normal seperti sebelum pandemi karena itu sangat mungkin kapasitas akomodasi penginapan yang tidak lagi menggunakan tenda melainkan hotel lengkap dengan berrbagai fasilitas termasuk mesin pendingin.
Hal itu merupakan visi dari para pembesar di Arab Saudi yang menginginkan pelaksanaan haji menjajdi suatu kegiatan yang nyaman. Tentunya berbagai kenyamanan itu akan berimbas pada kenaikan biaya lebih dari Rp10 juta per hari.
Terkait bus, dia membeberkan bahwa di Arab Saudi, usia bus maksimal hanya 10 tahun dan setap tahun pasti ada permintaan unit baru. Selama ini, bus didatangkan dari beberapa negara dan paling banyak berasal dari China dan Jepang.
Padahal, lanjutnya, Indonesia punya kapasitas untuk membuat bus listrik. Hal itu sudah ia sampaikan kepada beberapa pangeran di Arab Saudi dan mereka telah melihat pontesi ini serta memiliki ketertarikan.
“Kita tinggal bikin strategic partner di sana, know how dengan perusahaan Indonesia kerja sama dengan partner di Saudi, kita tidak perlu cari demand, karena haji sudah ada dari kita. Artinya kita sudah menciptakan pasar,” ujarnya.
Lebih Baik Dari Sukuk
Hurriyah meyakini bahwa investasi di sektor riil ini lebih baik dari sekadar investasi pada sukuk, yang efektifnya cuma 5 persen sedangkan dolar AS pergerakannya 4,5-6,5 persen sehingga ada selisih pergantian kurs.
“Selisih pergantian kurs saja siapa yang mau nombok. Ini belum masuk ke biaya inflasi Indonesia dan Saudi, akan menaikan biaya,” imbuhnya.
Pertama, kata Hurriyah, tujuan BPKH adalah membantu rakyat. Kedua uang itu disimpan di BPKH puluhan tahun, sehingga tidak elok jika jemaah harus nombok lagi.
Jadi menurutnya jika investasi di sukuk tidak cukup, sehingga harus coba masuk ke bisnis, mulai dari hotel yang nantinya bisa membantu keuangan sehingga jemaah tidak perlu nombok.
Dia sudah menghitung skala ekonomi dari investasi ini. Dengan menyertakan 15 persen dana kelolaan BPKH ke dalam investasi sektor riil di Arab Saudi, maka skala ekonomi yang akan diperoleh adalah 7 kali lipat untuk Indonesia.
Sebagai contoh, tuturnya, ketika membuat rumah Indonesia atau rest area, tentu perlu kita perlu mengisi tempat itu sehingga membuka peluang bisnis bagi orang Indonesia. Ketika membuka pabrik makanan, tentunya memerlukan bahan-bahan dari Indonesia dan mesti mempekerjakan orang Indonesia pula.
Berdasarkan hitung-hitungannya secara konservatif, dengan berinvestasi Rp30 triliun, dalam 5 tahun minimal akan ada nilai manfaat sebesar Rp200 triliun atau setara dengan kapasitan pengelolaan BPKH saat ini.
Jumlah Rp30 trriliun itu pun menurutnya tidak hilang karena menjadi aset riil seperti hotel atau pabrikan kendaraan bus yang nilai aset itu pun tiap tahun akan naik.
RELATED ARTICLES
Menanti Misi BPKH yang Belum Selesai
Persoalan rutin yang dihadapi oleh umat muslim di Indonesia adalah kenaikan ongkos naik haji yang cukup besar dari tahun ke tahun.
Context.id, JAKARTA - Kenaikan ongkos haji tiap tahunnya menjadi problem klasik yang terus dihadapi umat muslim Indonesia. Pasalnya, kenaikan itu memberatkan masyarakat yang ingin berhaji karena ongkosnya cukup besar.
Padahal, persoalan ini bisa ditanggulangi jika Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) bisa mengambil langkah untuk berinvestasi ke sektor riil.
Berdasarkan catatan Context, sebelumnya kepengurusan BPKH yang lalu sudah mencanangkan investasi di sektor riil, bahkan hampir dieksekusi. Akan tetapi rencana itu tidak terealisasi hingga berakhirnya masa kepengurusan .
Kala itu, Anggota BPKH Bidang Investasi dan Kerjasama Luar Negeri Hurriyah El Islamy membeberkan rencana badan itu masuk ke beberapa sektor riil di Arab Saudi, karena semakin membengkaknya biaya haji.
Sebagai contoh, pada 2021, biaya akomodasi hajii mulai dari penginapan di tenda dan makan, untuk semalam sudah mencapai Rp10 juta. Biaya itu masih di luar biaya transportasi pesawat terbang. Para jemaah akan menghabiskan waktu selama 45 hari di Arab Saudi sehingga biaya totalnya mencapai Rp450 juta.
“Bisa dibayangkan, tidak mungkin mereka bayar Rp450 juta. Itu di luar pesawat. Itu harga tenda,” terangnya.
Karena itu, BPKH menurutnya perlu melakukan langkah mengontrol harga dengan cara masuk ke sektor riil di Arab Saudi, karena jika tidak menjadi pemain di sana, Indonesia tidak akan memiliki posisi tawar untuk menjaga efisiensi biaya haji.
“Kita tidak bisa mendikte pihak Arab Saudi soal harga. Ke depan kalau dibuka open market siapa bayar duluan dia yang dapat sehingga satu-satunya kita masuk ke sektor investasi yang dibutuhkan oleh jemaah haji asal Indonesia di sana. Kalau harga selalu naik kapan mereka bisa berangkat,” tambahnya.
Dia melanjutkan, dengan BPJH berinvestasi di sektor riil maka saat biaya naik operasional naik, margin BPJH dari investasi itu ikut naik yang kemudian akan disubsidikan kembali ke publik, termasuk ke para calon jemaah haji.
“Itu cara smart. Karena itu program quick win ini harus segera dilakukan yang meliputi makanan, hotel, transportasi, rumah sakit. Ini esensial bahkan ke depannya ada pabrik bus karena kami sudah analisis kondisi transportasi di Saudi," ucapnya.
Di Saudi, semua impor dan mereka tiap tahun jumlahnya harus sekian banyak untuk mengakomodasi 2,5 juta jemaah, belum umrah dan sesuai visi 2030, kapasitasnya akan naik dua kali lipat.
Hurriyah sudah memperkirakan pada 2023 pelaksanaan haji sudah kembali ke situasi normal seperti sebelum pandemi karena itu sangat mungkin kapasitas akomodasi penginapan yang tidak lagi menggunakan tenda melainkan hotel lengkap dengan berrbagai fasilitas termasuk mesin pendingin.
Hal itu merupakan visi dari para pembesar di Arab Saudi yang menginginkan pelaksanaan haji menjajdi suatu kegiatan yang nyaman. Tentunya berbagai kenyamanan itu akan berimbas pada kenaikan biaya lebih dari Rp10 juta per hari.
Terkait bus, dia membeberkan bahwa di Arab Saudi, usia bus maksimal hanya 10 tahun dan setap tahun pasti ada permintaan unit baru. Selama ini, bus didatangkan dari beberapa negara dan paling banyak berasal dari China dan Jepang.
Padahal, lanjutnya, Indonesia punya kapasitas untuk membuat bus listrik. Hal itu sudah ia sampaikan kepada beberapa pangeran di Arab Saudi dan mereka telah melihat pontesi ini serta memiliki ketertarikan.
“Kita tinggal bikin strategic partner di sana, know how dengan perusahaan Indonesia kerja sama dengan partner di Saudi, kita tidak perlu cari demand, karena haji sudah ada dari kita. Artinya kita sudah menciptakan pasar,” ujarnya.
Lebih Baik Dari Sukuk
Hurriyah meyakini bahwa investasi di sektor riil ini lebih baik dari sekadar investasi pada sukuk, yang efektifnya cuma 5 persen sedangkan dolar AS pergerakannya 4,5-6,5 persen sehingga ada selisih pergantian kurs.
“Selisih pergantian kurs saja siapa yang mau nombok. Ini belum masuk ke biaya inflasi Indonesia dan Saudi, akan menaikan biaya,” imbuhnya.
Pertama, kata Hurriyah, tujuan BPKH adalah membantu rakyat. Kedua uang itu disimpan di BPKH puluhan tahun, sehingga tidak elok jika jemaah harus nombok lagi.
Jadi menurutnya jika investasi di sukuk tidak cukup, sehingga harus coba masuk ke bisnis, mulai dari hotel yang nantinya bisa membantu keuangan sehingga jemaah tidak perlu nombok.
Dia sudah menghitung skala ekonomi dari investasi ini. Dengan menyertakan 15 persen dana kelolaan BPKH ke dalam investasi sektor riil di Arab Saudi, maka skala ekonomi yang akan diperoleh adalah 7 kali lipat untuk Indonesia.
Sebagai contoh, tuturnya, ketika membuat rumah Indonesia atau rest area, tentu perlu kita perlu mengisi tempat itu sehingga membuka peluang bisnis bagi orang Indonesia. Ketika membuka pabrik makanan, tentunya memerlukan bahan-bahan dari Indonesia dan mesti mempekerjakan orang Indonesia pula.
Berdasarkan hitung-hitungannya secara konservatif, dengan berinvestasi Rp30 triliun, dalam 5 tahun minimal akan ada nilai manfaat sebesar Rp200 triliun atau setara dengan kapasitan pengelolaan BPKH saat ini.
Jumlah Rp30 trriliun itu pun menurutnya tidak hilang karena menjadi aset riil seperti hotel atau pabrikan kendaraan bus yang nilai aset itu pun tiap tahun akan naik.
POPULAR
RELATED ARTICLES