Sejarah Sukses Red Bull Kuasai Minuman Energi
Red Bull berhasil mencatatkan kinerja gemilang dengan berhasil menjual 11,5 miliar kaleng di seluruh dunia sepanjang 2022
Context.id, JAKARTA - Kesuksesan produsen minuman energi ternama, Red Bull GmbH (Red Bull) tak terlepas dari pengaruh gairah besar sang pendiri, mendiang Dietrich Mateschitz, dalam mendukung perkembangan dunia olahraga, terutama ranah motorsport dan extreme sport.
Mulai dari BMX, parkur, ski dan snowboarding, skateboard, skydiving, MTB, panjat tebing, Formula 1 (F1), motocross dan berbagai ajang balap populer lain, breakdance, bahkan sampai acara-acara unik dan terbilang remeh macam kompetisi pesawat kertas.
Tak heran, kendati baru saja ditinggal pergi Dietrich pada 22 Oktober 2022 yang meninggal di usia 78 tahun akibat kanker pankreas, Red Bull tetap berhasil mencatatkan kinerja gemilang dengan berhasil menjual 11,5 miliar kaleng di seluruh dunia sepanjang 2022.
Penjualan itu tercatat naik 18,1 persen ketimbang capaian sama tahun sebelumnya, yakni sebanyak 9,8 miliar kaleng. Angka itu pun menembus target tumbuh dua kali lipat dari satu dekade belakangan, dan kembali mencatatkan rekor penjualan sepanjang masa perusahaan.
Dilansir dari laman resmi Grup Red Bull, total omzet perusahaan yang berbasis di Austria ini mencapai 9,68 miliar euro pada 2022, naik 23,9 persen dari kinerja 2021 senilai 7,81 miliar euro.
Pada akhir 2022, Red Bull pun melaporkan memiliki 15.779 karyawan di 175 negara, naik dari tahun sebelumnya sebanyak 13.610 karyawan di 172 negara.
Sejarah Red Bull
Kisah Red Bull berawal dari kunjungan bisnis Dietrich ke Thailand pada 1982, kala itu masih sebagai karyawan perusahaan FMCG asal Jerman, Blendax. Pada acara pertemuan, Dietrich mengaku lemas karena mengalami jet lag alias mabok udara.
Uniknya, Dietrich merasa kembali segar setelah minum Kratingdaeng. Dampak jet lag pun sembuh seketika. Inilah yang membuat Dietrich kepincut memboyong minuman energi berlogo banteng merah itu ke pasar Eropa dengan tangannya sendiri.
Adapun, Kratingdaeng dibuat oleh Chaleo Yoovidhya sejak 70-an untuk pasar lokal Thailand. Awalnya di-branding sebagai minuman penyegar dahaga dan penambah konsentrasi yang menyasar kelas pekerja kasar di Negara Gajah Putih itu.
Setelah tadinya hanya populer di area rural, Kratingdaeng lantas menjelma menjadi salah satu minuman energi ternama buat seantero warga Thailand sejak mulai aktif terlibat menjadi sponsor kompetisi Muay Thai.
Dietrich dan Chaleo pada kisaran 1984-1987 pun sepakat bekerja sama meracik Red Bull dengan rasa baru, menyesuaikan selera lidah Eropa. Kaleng dengan brand Red Bull akhirnya mulai dipasarkan pertama kali di Austria pada 1987.
Tak Sekadar 'Bonceng' Atlet
Gairah Dietrich pada dunia olahraga ekstrem datang dari kegemarannya terhadap dunia balap sejak kecil, terutama F1. Pasalnya, pada masa itu Austria punya pembalap kebanggaan bernama Jochen Rindt yang berhasil menjadi juara dunia F1 musim 1970.
Kisah kampanye marketing awal Red Bull di kancah F1 pun terbilang unik. Pasalnya, Dietrich sudah melakukan pendekatan dengan Gerhard Berger, pembalap nyentrik Austria era 80-an , bahkan sebelum perusahaan Red Bull resmi berdiri.
Dilansir dari laman resmi Red Bull, Gerhard sempat menceritakan pengalamannya itu lewat sebuah cerita tertulis.
Gerhard menjelaskan pertemuan pertamanya dengan Dietrich berlangsung ketika seri F1 GP Austria musim 1985. Kala itu, Gerhard baru menjalani musim perdana sebagai pembalap F1 penuh, sehingga butuh dukungan sponsor.
"Dia [Dietrich] mengakui perusahaannya belum berjalan, tapi akan jadi dalam beberapa hari, minggu, atau bulan, katanya. Dia tidak punya uang juga. Jadi aku tanya apakah ada uang muka, tapi dia meyakinkan bisa memberikan US$10.000 kalau perusahaannya sudah resmi terbentuk," ungkapnya.
Menurut Gerhard, nilai sponsor itu terbilang kecil dan kurang menarik bagi pembalap F1. Namun, karena perbincangan dengan Dietrich cukup berkesan, Gerhard pun menyatakan setuju untuk bekerja sama.
"Ada sesuatu yang saya suka darinya sejak awal. Semakin dia bicara, semakin saya menyukainya, karena dia antusias dan meyakinkan. Jelas dia orang yang membuat sesuatu dengan totalitas. Bukan cuma membual. Itu tanda-tanda relasi bisnis yang baik, dan akhirnya membuat saya percaya untuk bicara dengannya lebih lanjut," tambahnya.
Walaupun berhasil menggandeng salah satu pembalap top sekaliber Gerhard yang kala itu berkesempatan membela Ferrari, Red Bull tetap punya tantangan sebagai perusahaan kecil. Pasalnya, dengan nilai kontrak mini, logo Red Bull tidak bisa terpampang di mobil maupun atribut pembalap.
Tapi Gerhard tak habis akal untuk mempromosikan Red Bull dengan cara selalu menenteng kaleng minuman itu selama sesi wawancara, foto, juga ketika naik podium.
Hal itu dilakukan Gerhard bertahun-tahun, walaupun harus kucing-kucingan dengan penyelenggara F1 karena pihak promotor biasanya sudah punya sponsor brand minuman beralkohol resmi. Lantas, apa buah dari semua usaha itu?
Melahirkan Para Juara Muda
Saat ini Red Bull tercatat memiliki dua tim F1 sendiri, Red Bull Racing sebagai tim utama, dan Scuderia Alpha Tauri yang diambil dari nama lini bisnis apparel miliknya. Red Bull Junior Team pun melahirkan belasan pembalap-pembalap kompetitif dalam dua dekade belakangan
Red Bull Racing sendiri telah menggenggam 5 kali juara dunia konstruktor F1, serta melahirkan dua pembalap juara dunia F1, Sebastian Vettel (2010-2013) dan Max Verstappen (2021, 2022).
Bukan hanya sukses di F1, saat ini Red Bull juga memiliki beberapa tim sepak bola yang juga bertabur gelar juara di kompetisi masing-masing, yakni FC Red Bull Salzburg, New York Red Bull, RB Leipzig, dan Red Bull Bragantino.
Pada kompetisi balap mobil dan motor lainnya, Red Bull juga selalu ambil bagian. Bahkan, pada ranah MotoGP, saat ini Red Bull bersama KTM yang merupakan pabrikan motor asal Austria, tengah digadang-gadang sebagai salah satu kandidat kuat penantang gelar juara dunia musim 2023.
Selain itu, Red Bull juga memiliki dua tim hoki, EHC Munchen dan EC Red Bull Salzburg. Red Bull juga terlibat menjadi sponsor berbagai acara olahraga ekstrem, ajang e-sport, dan memiliki studio rekaman sendiri.
Portofolio dukungan Red Bull sebagai sponsor pribadi atlet di berbagai belahan dunia pun tak main-main. Saat ini, dukungan Red Bull telah mencakup 820 atlet dari berbagai cabang olahraga. Dua di antaranya berasal dari Indonesia, yakni bintang bulu tangkis Jonatan Christie dan pembalap motor Fadillah Aditama.
Salah satu kekuatan Red Bull yang diakui banyak stakeholder di dunia olahraga, terutama karena kesungguhannya untuk ikut mencetak atlet muda dari berbagai cabang. Ini membuat nama Red Bull terbilang harum di mata para penggemar olahraga terkait.
"Simak saja, sekarang sirkuit Österreichring berubah nama menjadi Red Bull Ring. Red Bull punya dua tim F1, dan selalu melahirkan para juara baru. Semua bermula dari kesungguhan Red Bull mendukung motorsport. Tanpa itu semua, tanpa keberanian Dietrich meyakinkan saya memakai produknya yang saat itu bahkan belum keluar, nama Red Bull mungkin tidak akan sebesar sekarang," tutup Gerhard.
RELATED ARTICLES
Sejarah Sukses Red Bull Kuasai Minuman Energi
Red Bull berhasil mencatatkan kinerja gemilang dengan berhasil menjual 11,5 miliar kaleng di seluruh dunia sepanjang 2022
Context.id, JAKARTA - Kesuksesan produsen minuman energi ternama, Red Bull GmbH (Red Bull) tak terlepas dari pengaruh gairah besar sang pendiri, mendiang Dietrich Mateschitz, dalam mendukung perkembangan dunia olahraga, terutama ranah motorsport dan extreme sport.
Mulai dari BMX, parkur, ski dan snowboarding, skateboard, skydiving, MTB, panjat tebing, Formula 1 (F1), motocross dan berbagai ajang balap populer lain, breakdance, bahkan sampai acara-acara unik dan terbilang remeh macam kompetisi pesawat kertas.
Tak heran, kendati baru saja ditinggal pergi Dietrich pada 22 Oktober 2022 yang meninggal di usia 78 tahun akibat kanker pankreas, Red Bull tetap berhasil mencatatkan kinerja gemilang dengan berhasil menjual 11,5 miliar kaleng di seluruh dunia sepanjang 2022.
Penjualan itu tercatat naik 18,1 persen ketimbang capaian sama tahun sebelumnya, yakni sebanyak 9,8 miliar kaleng. Angka itu pun menembus target tumbuh dua kali lipat dari satu dekade belakangan, dan kembali mencatatkan rekor penjualan sepanjang masa perusahaan.
Dilansir dari laman resmi Grup Red Bull, total omzet perusahaan yang berbasis di Austria ini mencapai 9,68 miliar euro pada 2022, naik 23,9 persen dari kinerja 2021 senilai 7,81 miliar euro.
Pada akhir 2022, Red Bull pun melaporkan memiliki 15.779 karyawan di 175 negara, naik dari tahun sebelumnya sebanyak 13.610 karyawan di 172 negara.
Sejarah Red Bull
Kisah Red Bull berawal dari kunjungan bisnis Dietrich ke Thailand pada 1982, kala itu masih sebagai karyawan perusahaan FMCG asal Jerman, Blendax. Pada acara pertemuan, Dietrich mengaku lemas karena mengalami jet lag alias mabok udara.
Uniknya, Dietrich merasa kembali segar setelah minum Kratingdaeng. Dampak jet lag pun sembuh seketika. Inilah yang membuat Dietrich kepincut memboyong minuman energi berlogo banteng merah itu ke pasar Eropa dengan tangannya sendiri.
Adapun, Kratingdaeng dibuat oleh Chaleo Yoovidhya sejak 70-an untuk pasar lokal Thailand. Awalnya di-branding sebagai minuman penyegar dahaga dan penambah konsentrasi yang menyasar kelas pekerja kasar di Negara Gajah Putih itu.
Setelah tadinya hanya populer di area rural, Kratingdaeng lantas menjelma menjadi salah satu minuman energi ternama buat seantero warga Thailand sejak mulai aktif terlibat menjadi sponsor kompetisi Muay Thai.
Dietrich dan Chaleo pada kisaran 1984-1987 pun sepakat bekerja sama meracik Red Bull dengan rasa baru, menyesuaikan selera lidah Eropa. Kaleng dengan brand Red Bull akhirnya mulai dipasarkan pertama kali di Austria pada 1987.
Tak Sekadar 'Bonceng' Atlet
Gairah Dietrich pada dunia olahraga ekstrem datang dari kegemarannya terhadap dunia balap sejak kecil, terutama F1. Pasalnya, pada masa itu Austria punya pembalap kebanggaan bernama Jochen Rindt yang berhasil menjadi juara dunia F1 musim 1970.
Kisah kampanye marketing awal Red Bull di kancah F1 pun terbilang unik. Pasalnya, Dietrich sudah melakukan pendekatan dengan Gerhard Berger, pembalap nyentrik Austria era 80-an , bahkan sebelum perusahaan Red Bull resmi berdiri.
Dilansir dari laman resmi Red Bull, Gerhard sempat menceritakan pengalamannya itu lewat sebuah cerita tertulis.
Gerhard menjelaskan pertemuan pertamanya dengan Dietrich berlangsung ketika seri F1 GP Austria musim 1985. Kala itu, Gerhard baru menjalani musim perdana sebagai pembalap F1 penuh, sehingga butuh dukungan sponsor.
"Dia [Dietrich] mengakui perusahaannya belum berjalan, tapi akan jadi dalam beberapa hari, minggu, atau bulan, katanya. Dia tidak punya uang juga. Jadi aku tanya apakah ada uang muka, tapi dia meyakinkan bisa memberikan US$10.000 kalau perusahaannya sudah resmi terbentuk," ungkapnya.
Menurut Gerhard, nilai sponsor itu terbilang kecil dan kurang menarik bagi pembalap F1. Namun, karena perbincangan dengan Dietrich cukup berkesan, Gerhard pun menyatakan setuju untuk bekerja sama.
"Ada sesuatu yang saya suka darinya sejak awal. Semakin dia bicara, semakin saya menyukainya, karena dia antusias dan meyakinkan. Jelas dia orang yang membuat sesuatu dengan totalitas. Bukan cuma membual. Itu tanda-tanda relasi bisnis yang baik, dan akhirnya membuat saya percaya untuk bicara dengannya lebih lanjut," tambahnya.
Walaupun berhasil menggandeng salah satu pembalap top sekaliber Gerhard yang kala itu berkesempatan membela Ferrari, Red Bull tetap punya tantangan sebagai perusahaan kecil. Pasalnya, dengan nilai kontrak mini, logo Red Bull tidak bisa terpampang di mobil maupun atribut pembalap.
Tapi Gerhard tak habis akal untuk mempromosikan Red Bull dengan cara selalu menenteng kaleng minuman itu selama sesi wawancara, foto, juga ketika naik podium.
Hal itu dilakukan Gerhard bertahun-tahun, walaupun harus kucing-kucingan dengan penyelenggara F1 karena pihak promotor biasanya sudah punya sponsor brand minuman beralkohol resmi. Lantas, apa buah dari semua usaha itu?
Melahirkan Para Juara Muda
Saat ini Red Bull tercatat memiliki dua tim F1 sendiri, Red Bull Racing sebagai tim utama, dan Scuderia Alpha Tauri yang diambil dari nama lini bisnis apparel miliknya. Red Bull Junior Team pun melahirkan belasan pembalap-pembalap kompetitif dalam dua dekade belakangan
Red Bull Racing sendiri telah menggenggam 5 kali juara dunia konstruktor F1, serta melahirkan dua pembalap juara dunia F1, Sebastian Vettel (2010-2013) dan Max Verstappen (2021, 2022).
Bukan hanya sukses di F1, saat ini Red Bull juga memiliki beberapa tim sepak bola yang juga bertabur gelar juara di kompetisi masing-masing, yakni FC Red Bull Salzburg, New York Red Bull, RB Leipzig, dan Red Bull Bragantino.
Pada kompetisi balap mobil dan motor lainnya, Red Bull juga selalu ambil bagian. Bahkan, pada ranah MotoGP, saat ini Red Bull bersama KTM yang merupakan pabrikan motor asal Austria, tengah digadang-gadang sebagai salah satu kandidat kuat penantang gelar juara dunia musim 2023.
Selain itu, Red Bull juga memiliki dua tim hoki, EHC Munchen dan EC Red Bull Salzburg. Red Bull juga terlibat menjadi sponsor berbagai acara olahraga ekstrem, ajang e-sport, dan memiliki studio rekaman sendiri.
Portofolio dukungan Red Bull sebagai sponsor pribadi atlet di berbagai belahan dunia pun tak main-main. Saat ini, dukungan Red Bull telah mencakup 820 atlet dari berbagai cabang olahraga. Dua di antaranya berasal dari Indonesia, yakni bintang bulu tangkis Jonatan Christie dan pembalap motor Fadillah Aditama.
Salah satu kekuatan Red Bull yang diakui banyak stakeholder di dunia olahraga, terutama karena kesungguhannya untuk ikut mencetak atlet muda dari berbagai cabang. Ini membuat nama Red Bull terbilang harum di mata para penggemar olahraga terkait.
"Simak saja, sekarang sirkuit Österreichring berubah nama menjadi Red Bull Ring. Red Bull punya dua tim F1, dan selalu melahirkan para juara baru. Semua bermula dari kesungguhan Red Bull mendukung motorsport. Tanpa itu semua, tanpa keberanian Dietrich meyakinkan saya memakai produknya yang saat itu bahkan belum keluar, nama Red Bull mungkin tidak akan sebesar sekarang," tutup Gerhard.
POPULAR
RELATED ARTICLES