RI Siapkan Golden Visa, Apa Keuntungannya?
Golden visa merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menarik minat investor dan talenta asing berkualitas.
Context.id, JAKARTA - Pemerintah bersiap untuk menerapkan kebijakan golden visa untuk menarik wisatawan mancanegara (wisman) berkualitas datang dan tinggal lebih lama di Indonesia serta membawa dampak ekonomi lebih besar bagi Tanah Air.
Rencana penerapan kebijakan tersebut kembali diungkapkan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno dalam The Weekly Brief with Sandi Uno, seperti dilansir Antara, Senin (29/5/2023).
“Baru saja kami membahas bersama Bapak Presiden [Joko Widodo/Jokowi] dan Menko bahwa kita akan mengeluarkan kebijakan agar wisman tinggal lama, lebih berkualitas dan berdampak ekonomi kepada bangsa Indonesia,” ungkapnya.
Sandiaga mengungkapkan bahwa dalam beberapa minggu atau bulan ke depan kebijakan ini akan diluncurkan. Menurutnya, kebijakan golden visa memungkinkan wisman untuk tinggal untuk periode 5-10 tahun.
Rencana penerapan golden visa ini sebenarnya telah digaungkan Pemerintah Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. Kebijakan ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menarik minat investor asing atau meningkatkan penanaman modal asing (PMA).
Pada Januari 2023, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna H. Laoly secara khusus meminta jajaran Direktorat Jenderal Imigrasi untuk melakukan riset mendalam dan melakukan perbandingan dengan negara lain sebelum menetapkan kebijakan golden visa.
“Menindaklanjuti arahan Bapak Presiden Jokowi untuk segera menyiapkan kebijakan golden visa di Indonesia melalui komunikasi intensif dengan seluruh kementerian, lembaga dan stakeholder terkait,” ungkap Yasonna dalam sambutan Syukuran Hari Bhakti Imigrasi ke-73, Kamis (26/1/2023) seperti dilansir kemenkumham.go.id.
Dikutip dari setkab.go.id, penerapan golden visa ini diarahkan untuk menyempurnakan kebijakan 'visa rumah kedua' yang telah diluncurkan Kemenkumham sebagai bentuk fasilitas baru untuk para investor global yang ingin tinggal lebih lama di wilayah Indonesia. Visa rumah kedua diberikan kepada WNA untuk tinggal di wilayah Indonesia untuk jangka waktu 5-10 tahun untuk melakukan kegiatan antara lain sebagai investor, wisatawan, dan wisatawan lanjut usia/pensiunan.
Adapun, kebijakan golden visa diharapkan dapat menarik investor dan pebisnis internasional, talenta global dan wisatawan lansia mancanegara yang memenuhi persyaratan. Golden visa diharapkan dapat menjadi ‘tiket emas’ bagi individu potensial dari berbagai negara untuk mengembangkan modal dan kemampuannya dalam rangka membantu peningkatan kesempatan kerja dan pembangunan ekonomi nasional Indonesia.
Lantas, bagaimana gambaran umum mengenai kebijakan golden visa? Apa saja manfaat dan dampak dari penerapan golden visa? Berikut ini informasi yang dihimpun Context.id mengenai kebijakan golden visa:
Skema Golden Visa
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mendefinisikan golden visa atau golden passport sebagai skema izin tinggal melalui investasi (residency by investment) dan kewarganegaraan melalui Investasi (citizenship by investment).
“Golden visa merupakan kebijakan yang diberlakukan oleh suatu negara melalui mekanisme pemberian fasilitas izin tinggal atau berkewarganegaraan kepada warga negara asing [WNA] melalui investasi atau membayar sejumlah biaya tertentu,” demikian penjelasan Lusia Novita Sari, Kepala Subbidang Hubungan Bilateral Afrika dan Timur Tengah, Kedeputian Polhukam, Sekretariat Kabinet, dalam artikel yang dipublikasikan setkab.go.id., Minggu (2/4/2023).
Kebijakan ini menggunakan istilah yang bervariasi di sejumlah negara. Namun, umumnya kebijakan ini memungkinkan WNA untuk menikmati manfaat eksklusif yang tidak diterima oleh pemegang visa pada umumnya. Manfaat tersebut antara lain berupa prosedur dan persyaratan permohonan visa dan urusan imigrasi lebih mudah dan cepat, mobilitas dengan multiple entries, jangka waktu tinggal lebih lama, hak untuk memiliki aset di dalam negara, serta menjadi jalur fast track untuk pengajuan kewarganegaraan.
Lusia menjelaskan, skema golden visa ini pertama kali dilakukan oleh Saint Kitts & Nevis, negara kecil dengan dua pulau di kawasan Karibia, pada 1984. Kebijakan ini memungkinkan WNA mendapatkan kewarganegaraan Saint Kitts & Nevis dengan memberikan donasi minimal US$150.000 pada instrumen Sustainable Growth Fund atau memiliki investasi di sektor real estate minimal senilai US$200.000.
Sejak 1986, Kanada memberlakukan kebijakan pemberian izin tinggal berbasis investasi atau Immigrant Investor Program, kendati dihentikan pada 2014. Amerika Serikat menyusul pada 1990 melalui EB-5 Immigrant Investor Program yang memberikan izin tinggal bersyarat selama dua tahun dan dapat diperpanjang untuk investor asing dengan minimal nilai investasi US$1,05 juta.
Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2007-2008, menjadikan praktik pemberian golden visa semakin marak dilakukan oleh negara-negara Eropa dalam rangka pemulihan ekonomi. Bahkan, kebijakan serupa diikuti negara-negara berkembang di kawasan Asia Pasifik dan Afrika guna menggenjot pertumbuhan investasi asing. Tercatat negara seperti Thailand, Namibia, dan Vanuatu memberlakukannya.
"Pada 2022, lebih dari 60 negara diperkirakan telah memberlakukan kebijakan pemberian izin tinggal dan kewarganegaraan berbasis investasi," tulis Lusia.
Dampak Penerapan Golden Visa di Berbagai Negara
Seperti diungkapkan sebelumnya, kebijakan golden visa ditujukan untuk menarik lebih banyak investasi asing masuk ke berbagai instrumen, baik itu pada investment funds, obligasi pemerintah, saham perusahaan, maupun properti. Secara umum, kebijakan ini memberikan keuntungan ekonomi dan fiskal melalui dorongan investasi sektor swasta dan peningkatan pendapatan fiskal negara.
Lusia menjelaskan, dalam kajian yang dilakukan pada 2018, Transparency International mengestimasikan Uni Eropa pada 2008-2018 menerima sekitar 25 miliar euro atau sekitar Rp407 triliun dalam bentuk PMA berkat pemberlakukan skema golden visa di sejumlah negara anggotanya.
Selain itu, beberapa negara melalui program ini juga membuka kesempatan kepada individu non-investor dengan keahlian khusus untuk mendapatkan golden visa. Kebijakan ini diharapkan membuka peluang bagi WNA untuk membagikan kemampuannya dalam rangka membantu peningkatan kesempatan kerja dan pembangunan ekonomi di negara tersebut.
Kendati begitu, kebijakan golden visa juga memiliki ekses dalam penerapannya. Lusia merangkum sejumlah dampak negatif potensial dari penerapan skema golden visa.
Pertama, aliran investasi yang masuk dari skema golden visa cenderung rentan dan mudah dipengaruhi oleh faktor eksternal sehingga membuka kemungkinan investor akan menarik investasinya dan memindahkannya ke negara lain yang menawarkan opsi investasi yang lebih menarik.
Kedua, skema pemberian izin tinggal dan kewarganegaraan berbasis investasi dikritik karena dianggap sebagai kebijakan ‘menjual kewarganegaraan’. Pemberian kewarganegaraan berdasarkan investasi dianggap menyimpang dari dua asas kewarganegaraan yakni ius soli (kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran) dan ius sanguinis (kewarganegaraan berkat pertalian
Ketiga, kebijakan pemberian izin tinggal dan kewarganegaraan berbasis investasi juga dinilai tidak adil dan diskriminatif. Pasalnya, kebijakan ini memberikan hak eksklusif hanya kepada orang yang memiliki uang dalam jumlah banyak untuk tinggal, bekerja, dan melakukan usaha di suatu negara.
Keempat, skema golden visa juga menimbulkan risiko terhadap penyalahgunaan izin tinggal dan berusaha, serta peningkatan kasus korupsi, pengemplangan pajak (tax evasion), pencucian uang (money laundering), dan pendanaan kelompok teroris.
Sejumlah ekses di atas, ungkap Lusia, menyebabkan sejumlah negara menghentikan pemberlakuan skema golden visa di beberapa negara Eropa, termasuk Hungaria (2018), Inggris (2022), dan Bulgaria (2022), dan Portugal (Februari 2023).
Desakan untuk menghentikan skema golden visa di negara-negara anggota Uni Eropa juga menguat akibat invasi Rusia ke Ukraina. Pasalnya, warga negara Rusia merupakan pemegang golden visa terbanyak di negara-negara anggota Uni Eropa.
Oleh karena itu, Lusia menilai pemerintah perlu menyiapkan sejumlah langkah mitigasi terhadap risiko negatif pemberlakuan golden visa.
“Seperti background checking terhadap pemohon golden visa dan sumber dana yang diinvestasikan, serta menyiapkan mekanisme pengawasan kepada individu yang telah mendapatkan golden visa,” ungkapnya
RELATED ARTICLES
RI Siapkan Golden Visa, Apa Keuntungannya?
Golden visa merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menarik minat investor dan talenta asing berkualitas.
Context.id, JAKARTA - Pemerintah bersiap untuk menerapkan kebijakan golden visa untuk menarik wisatawan mancanegara (wisman) berkualitas datang dan tinggal lebih lama di Indonesia serta membawa dampak ekonomi lebih besar bagi Tanah Air.
Rencana penerapan kebijakan tersebut kembali diungkapkan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno dalam The Weekly Brief with Sandi Uno, seperti dilansir Antara, Senin (29/5/2023).
“Baru saja kami membahas bersama Bapak Presiden [Joko Widodo/Jokowi] dan Menko bahwa kita akan mengeluarkan kebijakan agar wisman tinggal lama, lebih berkualitas dan berdampak ekonomi kepada bangsa Indonesia,” ungkapnya.
Sandiaga mengungkapkan bahwa dalam beberapa minggu atau bulan ke depan kebijakan ini akan diluncurkan. Menurutnya, kebijakan golden visa memungkinkan wisman untuk tinggal untuk periode 5-10 tahun.
Rencana penerapan golden visa ini sebenarnya telah digaungkan Pemerintah Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. Kebijakan ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menarik minat investor asing atau meningkatkan penanaman modal asing (PMA).
Pada Januari 2023, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna H. Laoly secara khusus meminta jajaran Direktorat Jenderal Imigrasi untuk melakukan riset mendalam dan melakukan perbandingan dengan negara lain sebelum menetapkan kebijakan golden visa.
“Menindaklanjuti arahan Bapak Presiden Jokowi untuk segera menyiapkan kebijakan golden visa di Indonesia melalui komunikasi intensif dengan seluruh kementerian, lembaga dan stakeholder terkait,” ungkap Yasonna dalam sambutan Syukuran Hari Bhakti Imigrasi ke-73, Kamis (26/1/2023) seperti dilansir kemenkumham.go.id.
Dikutip dari setkab.go.id, penerapan golden visa ini diarahkan untuk menyempurnakan kebijakan 'visa rumah kedua' yang telah diluncurkan Kemenkumham sebagai bentuk fasilitas baru untuk para investor global yang ingin tinggal lebih lama di wilayah Indonesia. Visa rumah kedua diberikan kepada WNA untuk tinggal di wilayah Indonesia untuk jangka waktu 5-10 tahun untuk melakukan kegiatan antara lain sebagai investor, wisatawan, dan wisatawan lanjut usia/pensiunan.
Adapun, kebijakan golden visa diharapkan dapat menarik investor dan pebisnis internasional, talenta global dan wisatawan lansia mancanegara yang memenuhi persyaratan. Golden visa diharapkan dapat menjadi ‘tiket emas’ bagi individu potensial dari berbagai negara untuk mengembangkan modal dan kemampuannya dalam rangka membantu peningkatan kesempatan kerja dan pembangunan ekonomi nasional Indonesia.
Lantas, bagaimana gambaran umum mengenai kebijakan golden visa? Apa saja manfaat dan dampak dari penerapan golden visa? Berikut ini informasi yang dihimpun Context.id mengenai kebijakan golden visa:
Skema Golden Visa
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mendefinisikan golden visa atau golden passport sebagai skema izin tinggal melalui investasi (residency by investment) dan kewarganegaraan melalui Investasi (citizenship by investment).
“Golden visa merupakan kebijakan yang diberlakukan oleh suatu negara melalui mekanisme pemberian fasilitas izin tinggal atau berkewarganegaraan kepada warga negara asing [WNA] melalui investasi atau membayar sejumlah biaya tertentu,” demikian penjelasan Lusia Novita Sari, Kepala Subbidang Hubungan Bilateral Afrika dan Timur Tengah, Kedeputian Polhukam, Sekretariat Kabinet, dalam artikel yang dipublikasikan setkab.go.id., Minggu (2/4/2023).
Kebijakan ini menggunakan istilah yang bervariasi di sejumlah negara. Namun, umumnya kebijakan ini memungkinkan WNA untuk menikmati manfaat eksklusif yang tidak diterima oleh pemegang visa pada umumnya. Manfaat tersebut antara lain berupa prosedur dan persyaratan permohonan visa dan urusan imigrasi lebih mudah dan cepat, mobilitas dengan multiple entries, jangka waktu tinggal lebih lama, hak untuk memiliki aset di dalam negara, serta menjadi jalur fast track untuk pengajuan kewarganegaraan.
Lusia menjelaskan, skema golden visa ini pertama kali dilakukan oleh Saint Kitts & Nevis, negara kecil dengan dua pulau di kawasan Karibia, pada 1984. Kebijakan ini memungkinkan WNA mendapatkan kewarganegaraan Saint Kitts & Nevis dengan memberikan donasi minimal US$150.000 pada instrumen Sustainable Growth Fund atau memiliki investasi di sektor real estate minimal senilai US$200.000.
Sejak 1986, Kanada memberlakukan kebijakan pemberian izin tinggal berbasis investasi atau Immigrant Investor Program, kendati dihentikan pada 2014. Amerika Serikat menyusul pada 1990 melalui EB-5 Immigrant Investor Program yang memberikan izin tinggal bersyarat selama dua tahun dan dapat diperpanjang untuk investor asing dengan minimal nilai investasi US$1,05 juta.
Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2007-2008, menjadikan praktik pemberian golden visa semakin marak dilakukan oleh negara-negara Eropa dalam rangka pemulihan ekonomi. Bahkan, kebijakan serupa diikuti negara-negara berkembang di kawasan Asia Pasifik dan Afrika guna menggenjot pertumbuhan investasi asing. Tercatat negara seperti Thailand, Namibia, dan Vanuatu memberlakukannya.
"Pada 2022, lebih dari 60 negara diperkirakan telah memberlakukan kebijakan pemberian izin tinggal dan kewarganegaraan berbasis investasi," tulis Lusia.
Dampak Penerapan Golden Visa di Berbagai Negara
Seperti diungkapkan sebelumnya, kebijakan golden visa ditujukan untuk menarik lebih banyak investasi asing masuk ke berbagai instrumen, baik itu pada investment funds, obligasi pemerintah, saham perusahaan, maupun properti. Secara umum, kebijakan ini memberikan keuntungan ekonomi dan fiskal melalui dorongan investasi sektor swasta dan peningkatan pendapatan fiskal negara.
Lusia menjelaskan, dalam kajian yang dilakukan pada 2018, Transparency International mengestimasikan Uni Eropa pada 2008-2018 menerima sekitar 25 miliar euro atau sekitar Rp407 triliun dalam bentuk PMA berkat pemberlakukan skema golden visa di sejumlah negara anggotanya.
Selain itu, beberapa negara melalui program ini juga membuka kesempatan kepada individu non-investor dengan keahlian khusus untuk mendapatkan golden visa. Kebijakan ini diharapkan membuka peluang bagi WNA untuk membagikan kemampuannya dalam rangka membantu peningkatan kesempatan kerja dan pembangunan ekonomi di negara tersebut.
Kendati begitu, kebijakan golden visa juga memiliki ekses dalam penerapannya. Lusia merangkum sejumlah dampak negatif potensial dari penerapan skema golden visa.
Pertama, aliran investasi yang masuk dari skema golden visa cenderung rentan dan mudah dipengaruhi oleh faktor eksternal sehingga membuka kemungkinan investor akan menarik investasinya dan memindahkannya ke negara lain yang menawarkan opsi investasi yang lebih menarik.
Kedua, skema pemberian izin tinggal dan kewarganegaraan berbasis investasi dikritik karena dianggap sebagai kebijakan ‘menjual kewarganegaraan’. Pemberian kewarganegaraan berdasarkan investasi dianggap menyimpang dari dua asas kewarganegaraan yakni ius soli (kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran) dan ius sanguinis (kewarganegaraan berkat pertalian
Ketiga, kebijakan pemberian izin tinggal dan kewarganegaraan berbasis investasi juga dinilai tidak adil dan diskriminatif. Pasalnya, kebijakan ini memberikan hak eksklusif hanya kepada orang yang memiliki uang dalam jumlah banyak untuk tinggal, bekerja, dan melakukan usaha di suatu negara.
Keempat, skema golden visa juga menimbulkan risiko terhadap penyalahgunaan izin tinggal dan berusaha, serta peningkatan kasus korupsi, pengemplangan pajak (tax evasion), pencucian uang (money laundering), dan pendanaan kelompok teroris.
Sejumlah ekses di atas, ungkap Lusia, menyebabkan sejumlah negara menghentikan pemberlakuan skema golden visa di beberapa negara Eropa, termasuk Hungaria (2018), Inggris (2022), dan Bulgaria (2022), dan Portugal (Februari 2023).
Desakan untuk menghentikan skema golden visa di negara-negara anggota Uni Eropa juga menguat akibat invasi Rusia ke Ukraina. Pasalnya, warga negara Rusia merupakan pemegang golden visa terbanyak di negara-negara anggota Uni Eropa.
Oleh karena itu, Lusia menilai pemerintah perlu menyiapkan sejumlah langkah mitigasi terhadap risiko negatif pemberlakuan golden visa.
“Seperti background checking terhadap pemohon golden visa dan sumber dana yang diinvestasikan, serta menyiapkan mekanisme pengawasan kepada individu yang telah mendapatkan golden visa,” ungkapnya
POPULAR
RELATED ARTICLES