Semakin Bangkrut, Rumah CEO Evergrande Kini Disita Bank
Rumah mewah milik CEO Evergrande Group, Hui Ka Yan disita oleh China Construction Bank (CCB).
Context.id, JAKARTA - Rumah mewah milik CEO Evergrande Group, Hui Ka Yan disita oleh China Construction Bank (CCB), imbas utang perusahaannya yang mencapai US$300 miliar atau senilai Rp4.684 triliun.
Dikutip dari Channel News Asia, rumah dengan luas 465 meter persegi yang berada di kawasan elit The Peak, Hong Kong memang jaminan obligasi seharga Rp599 miliar yang sudah jatuh tempo. Dikutip dari Bisnis, rumah tersebut bernilai US$89 juta atau senilai Rp1,3 triliun.
Diketahui, penyitaan rumah ini memang merupakan kasus penyitaan rumah pertama kali sejak Evergrande mulai terperosok dalam lubang hutang dan terancam bangkrut pada 2021 lalu. Pasalnya, pada Januari lalu, bank juga pernah menyita sebidang tanah yang merupakan salah satu aset andalan Evergrande, yang baru-baru ini terjual.
Lalu dikutip dari Financial Times, pada September 2022 gedung kantor pusat Evergrande Hong Kong juga telah diambil alih oleh perusahaan konsultan China Citic Bank International.
Sejarah Kebangkrutan Evergrande
Evergrande merupakan sebuah raksasa pengembang properti di China. Sebelum masa krisis, Evergrande memiliki pendapatan hampir US$78 miliar atau Rp1.223 triliun dan sudah memiliki ratusan proyek di lebih dari 200 kota di China.
Sayangnya, perusahaan raksasa ini melakukan pengembangan dengan cara menggunakan uang dari apartemen atau proyek yang dijual sebelumnya, untuk memulai proyek baru. Padahal, proyek yang dananya di ambil juga masih belum sepenuhnya rampung.
Memang, sebelum pandemi, hal ini sukses dilakukan dan membawa Evergrande menjadi perusahaan properti yang ternama, dimana mereka selalu memberikan deviden pada para pemilik saham dan menyumbang lebih dari US$5 miliar atau Rp78,4 triliun kepada para pendiri Evergrande.
Namun, masalah mulai mencuat saat adanya pandemi. Pasalnya, saat itu daya beli masyarakat berkurang, perekonomian mandeg, dan tidak ada orang yang hendak membeli rumah atau properti. Berdasarkan riset dari Capital Economics dan Wall Street Journal, Evergrande masih memiliki sekitar 1,4 juta unit apartemen senilai US$200 miliar (Rp31,3 triliun) yang belum terjual hingga 2021
Alhasil sistem bisnis Evergrande yang seperti gali lubang-tutup lubang ini pun membawanya kepada kehancuran. Hal ini diperparah dengan kebijakan pemerintah China yang tidak memperbolehkan perusahaan pengembang untuk mengambil utang.
Padahal, Evergrande masih memiliki sejumlah proyek yang masih belum selesai. Oleh karena itu, di sanalah Evergrande berusaha untuk membayar para pemasok dengan uang dan menjual aset yang tersisa, sekalipun hal tersebut membuat kas perusahaan menjadi kering.
Siapa sangka, keputusan itu membawa Evergrande jatuh ke dalam lubang yang lebih dalam lagi. Dikutip dari Bisnis, Evergrande sudah berulang-ulang kali melewatkan waktu jatuh tempo pembayaran pinjaman.
Diketahui dari Financial Times, Evergrande memiliki sekitar US$300 miliar obligasi, yang mana US$20 miliar di antaranya adalah obligasi luar negeri.
Bahkan mengutip dari Bloomberg, raksasa properti ini sudah dilabeli gagal bayar oleh perusahaan ranking internasional sejak Desember 2021 karena gagal membayar kewajiban tepat waktu.
Perusahaan Properti yang Terkena Imbas Pandemi Bukan Hanya Evergrande
Diketahui, pemain industri properti lainnya, China Aoyuan Group Ltd. juga sedang mengalami gejolak ekonomi setelah perusahaan itu mendapat panggilan karena kasus pinjaman.
Selain itu, perusahaan juga melakukan pengurangan karyawan dan perhentian pembangunan proyek karena hal ini, walaupun saat ini keadaan perusahaan sudah membaik.
RELATED ARTICLES
Semakin Bangkrut, Rumah CEO Evergrande Kini Disita Bank
Rumah mewah milik CEO Evergrande Group, Hui Ka Yan disita oleh China Construction Bank (CCB).
Context.id, JAKARTA - Rumah mewah milik CEO Evergrande Group, Hui Ka Yan disita oleh China Construction Bank (CCB), imbas utang perusahaannya yang mencapai US$300 miliar atau senilai Rp4.684 triliun.
Dikutip dari Channel News Asia, rumah dengan luas 465 meter persegi yang berada di kawasan elit The Peak, Hong Kong memang jaminan obligasi seharga Rp599 miliar yang sudah jatuh tempo. Dikutip dari Bisnis, rumah tersebut bernilai US$89 juta atau senilai Rp1,3 triliun.
Diketahui, penyitaan rumah ini memang merupakan kasus penyitaan rumah pertama kali sejak Evergrande mulai terperosok dalam lubang hutang dan terancam bangkrut pada 2021 lalu. Pasalnya, pada Januari lalu, bank juga pernah menyita sebidang tanah yang merupakan salah satu aset andalan Evergrande, yang baru-baru ini terjual.
Lalu dikutip dari Financial Times, pada September 2022 gedung kantor pusat Evergrande Hong Kong juga telah diambil alih oleh perusahaan konsultan China Citic Bank International.
Sejarah Kebangkrutan Evergrande
Evergrande merupakan sebuah raksasa pengembang properti di China. Sebelum masa krisis, Evergrande memiliki pendapatan hampir US$78 miliar atau Rp1.223 triliun dan sudah memiliki ratusan proyek di lebih dari 200 kota di China.
Sayangnya, perusahaan raksasa ini melakukan pengembangan dengan cara menggunakan uang dari apartemen atau proyek yang dijual sebelumnya, untuk memulai proyek baru. Padahal, proyek yang dananya di ambil juga masih belum sepenuhnya rampung.
Memang, sebelum pandemi, hal ini sukses dilakukan dan membawa Evergrande menjadi perusahaan properti yang ternama, dimana mereka selalu memberikan deviden pada para pemilik saham dan menyumbang lebih dari US$5 miliar atau Rp78,4 triliun kepada para pendiri Evergrande.
Namun, masalah mulai mencuat saat adanya pandemi. Pasalnya, saat itu daya beli masyarakat berkurang, perekonomian mandeg, dan tidak ada orang yang hendak membeli rumah atau properti. Berdasarkan riset dari Capital Economics dan Wall Street Journal, Evergrande masih memiliki sekitar 1,4 juta unit apartemen senilai US$200 miliar (Rp31,3 triliun) yang belum terjual hingga 2021
Alhasil sistem bisnis Evergrande yang seperti gali lubang-tutup lubang ini pun membawanya kepada kehancuran. Hal ini diperparah dengan kebijakan pemerintah China yang tidak memperbolehkan perusahaan pengembang untuk mengambil utang.
Padahal, Evergrande masih memiliki sejumlah proyek yang masih belum selesai. Oleh karena itu, di sanalah Evergrande berusaha untuk membayar para pemasok dengan uang dan menjual aset yang tersisa, sekalipun hal tersebut membuat kas perusahaan menjadi kering.
Siapa sangka, keputusan itu membawa Evergrande jatuh ke dalam lubang yang lebih dalam lagi. Dikutip dari Bisnis, Evergrande sudah berulang-ulang kali melewatkan waktu jatuh tempo pembayaran pinjaman.
Diketahui dari Financial Times, Evergrande memiliki sekitar US$300 miliar obligasi, yang mana US$20 miliar di antaranya adalah obligasi luar negeri.
Bahkan mengutip dari Bloomberg, raksasa properti ini sudah dilabeli gagal bayar oleh perusahaan ranking internasional sejak Desember 2021 karena gagal membayar kewajiban tepat waktu.
Perusahaan Properti yang Terkena Imbas Pandemi Bukan Hanya Evergrande
Diketahui, pemain industri properti lainnya, China Aoyuan Group Ltd. juga sedang mengalami gejolak ekonomi setelah perusahaan itu mendapat panggilan karena kasus pinjaman.
Selain itu, perusahaan juga melakukan pengurangan karyawan dan perhentian pembangunan proyek karena hal ini, walaupun saat ini keadaan perusahaan sudah membaik.
POPULAR
RELATED ARTICLES