Dua Dekade Marjin Kiri, Bernapas di Sela-Sela Penjegalan dan Pasar Buku
Penerbit Marjin Kiri bertahan hingga usia dua puluh tahun. Bertarung melawan modal besar hingga keengganan membaca buku serius
.jpg)
Context.id, JAKARTA - Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat untuk sebuah penerbit kecil yang memilih berdiri di luar arus utama. Di tengah gempuran pasar, pengetatan ruang ekspresi, dan ancaman penertiban, Marjin Kiri terus bernapas.
Sejak didirikan pada 1 Mei 2005, penerbit ini hadir sebagai respons atas trauma panjang kebungkaman Orde Baru.Pada masa itu, buku-buku dianggap berbahaya jika tak sejalan dengan garis kekuasaan.
Marxisme, kritik sosial, atau pemikiran kiri lainnya tak diberi ruang hidup. Judul-judul seperti itu tak hanya dilarang beredar, tapi juga dibakar, disita atau sekadar hilang dari etalase toko buku.
“Setelah reformasi, ada ruang untuk bicara. Tapi kami sadar, selama puluhan tahun kita dibungkam, dibatasi. Itulah yang kami jawab lewat Marjin Kiri,” ujar Ronny Agustinus, pendiri sekaligus redaktur Marjin Kiri, dalam perayaan dua dekade penerbit ini, Sabtu (24/5/2025) di Gudskul Ecosystem, Jakarta Selatan.
Namun kebebasan tak datang utuh. Bahkan setelah reformasi, Marjin Kiri masih menghadapi represi. Tahun 2016, aparat merazia buku-buku terbitan mereka. Beberapa diskusi yang digelar Marjin Kiri pun kerap diawasi diam-diam.
“Kami sempat tiarap. Tapi kami gak berhenti. Kami terbitkan buku-buku sastra, yang relatif lebih aman. Saatnya tiba, kami akan kembali dengan yang lebih kritis,” kata Ronny
Siasat dan napas panjang
Selama dua dekade, Marjin Kiri bukan hanya menolak lupa, tapi juga harus cerdik menyiasati kenyataan pasar. Tanpa sokongan modal besar, mereka membatasi cetakan untuk tiap judul, biasanya tak lebih dari dua ribu eksemplar.
“Kalau cetak 3 sampai 4 ribu eksemplar, itu sudah masuk ranah perjudian. Risiko ruginya besar. Tapi ya, kadang untungnya juga besar. Masalahnya modal kami terbatas,” kata lulusan IKJ jurusan Seni Murni ini
Meski tampak sunyi dibanding raksasa penerbit besar, Marjin Kiri tetap punya ceruk pembaca. Di tengah derasnya buku-buku motivasi, roman populer, dan biografi selebriti, buku-buku Marjin Kiri menjangkau segmen yang ingin berpikir, bertanya dan membantah.
“Dalam situasi sekarang yang serba bising dan serba cepat, membaca buku yang kritis bisa jadi bentuk perlawanan,” ucap Ronny. “Perlawanan untuk tetap jernih.”
Melampaui 20 Tahun
Kini, setelah 20 tahun berjalan, Marjin Kiri tak menatap balik dengan bangga tapi dengan kewaspadaan. Dunia buku terus berubah.
Distribusi bergeser ke digital. Pembaca kian terseleksi. Tapi, bagi Ronny, keberadaan Marjin Kiri bukan soal bertahan dalam hitung-hitungan bisnis semata.
“Kita coba 20 tahun lagi lah,” katanya sambil tertawa. Bukan janji bombastis. Tapi tekad yang lahir dari kesadaran menerbitkan buku bisa menjadi tindakan politik, sekaligus ruang untuk bernapas bagi nalar publik.
POPULAR
RELATED ARTICLES
Dua Dekade Marjin Kiri, Bernapas di Sela-Sela Penjegalan dan Pasar Buku
Penerbit Marjin Kiri bertahan hingga usia dua puluh tahun. Bertarung melawan modal besar hingga keengganan membaca buku serius
.jpg)
Context.id, JAKARTA - Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat untuk sebuah penerbit kecil yang memilih berdiri di luar arus utama. Di tengah gempuran pasar, pengetatan ruang ekspresi, dan ancaman penertiban, Marjin Kiri terus bernapas.
Sejak didirikan pada 1 Mei 2005, penerbit ini hadir sebagai respons atas trauma panjang kebungkaman Orde Baru.Pada masa itu, buku-buku dianggap berbahaya jika tak sejalan dengan garis kekuasaan.
Marxisme, kritik sosial, atau pemikiran kiri lainnya tak diberi ruang hidup. Judul-judul seperti itu tak hanya dilarang beredar, tapi juga dibakar, disita atau sekadar hilang dari etalase toko buku.
“Setelah reformasi, ada ruang untuk bicara. Tapi kami sadar, selama puluhan tahun kita dibungkam, dibatasi. Itulah yang kami jawab lewat Marjin Kiri,” ujar Ronny Agustinus, pendiri sekaligus redaktur Marjin Kiri, dalam perayaan dua dekade penerbit ini, Sabtu (24/5/2025) di Gudskul Ecosystem, Jakarta Selatan.
Namun kebebasan tak datang utuh. Bahkan setelah reformasi, Marjin Kiri masih menghadapi represi. Tahun 2016, aparat merazia buku-buku terbitan mereka. Beberapa diskusi yang digelar Marjin Kiri pun kerap diawasi diam-diam.
“Kami sempat tiarap. Tapi kami gak berhenti. Kami terbitkan buku-buku sastra, yang relatif lebih aman. Saatnya tiba, kami akan kembali dengan yang lebih kritis,” kata Ronny
Siasat dan napas panjang
Selama dua dekade, Marjin Kiri bukan hanya menolak lupa, tapi juga harus cerdik menyiasati kenyataan pasar. Tanpa sokongan modal besar, mereka membatasi cetakan untuk tiap judul, biasanya tak lebih dari dua ribu eksemplar.
“Kalau cetak 3 sampai 4 ribu eksemplar, itu sudah masuk ranah perjudian. Risiko ruginya besar. Tapi ya, kadang untungnya juga besar. Masalahnya modal kami terbatas,” kata lulusan IKJ jurusan Seni Murni ini
Meski tampak sunyi dibanding raksasa penerbit besar, Marjin Kiri tetap punya ceruk pembaca. Di tengah derasnya buku-buku motivasi, roman populer, dan biografi selebriti, buku-buku Marjin Kiri menjangkau segmen yang ingin berpikir, bertanya dan membantah.
“Dalam situasi sekarang yang serba bising dan serba cepat, membaca buku yang kritis bisa jadi bentuk perlawanan,” ucap Ronny. “Perlawanan untuk tetap jernih.”
Melampaui 20 Tahun
Kini, setelah 20 tahun berjalan, Marjin Kiri tak menatap balik dengan bangga tapi dengan kewaspadaan. Dunia buku terus berubah.
Distribusi bergeser ke digital. Pembaca kian terseleksi. Tapi, bagi Ronny, keberadaan Marjin Kiri bukan soal bertahan dalam hitung-hitungan bisnis semata.
“Kita coba 20 tahun lagi lah,” katanya sambil tertawa. Bukan janji bombastis. Tapi tekad yang lahir dari kesadaran menerbitkan buku bisa menjadi tindakan politik, sekaligus ruang untuk bernapas bagi nalar publik.
POPULAR
RELATED ARTICLES