Share

Home Stories

Stories 28 Mei 2025

Dua Dekade Marjin Kiri, Bernapas di Sela-Sela Penjegalan dan Pasar Buku

Penerbit Marjin Kiri bertahan hingga usia dua puluh tahun. Bertarung melawan modal besar hingga keengganan membaca buku serius

Kover buku terbitan Marjin Kiri dipamerkan dalam acara Ulang Tahun ke 20 penerbit buku kritis itu,Sabtu (24/5/2025) di Gudskul Ekosistem, Jakarta Selatan/Context-Renita Sukma

Context.id, JAKARTA - Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat untuk sebuah penerbit kecil yang memilih berdiri di luar arus utama. Di tengah gempuran pasar, pengetatan ruang ekspresi, dan ancaman penertiban, Marjin Kiri terus bernapas. 

Sejak didirikan pada 1 Mei 2005, penerbit ini hadir sebagai respons atas trauma panjang kebungkaman Orde Baru.Pada masa itu, buku-buku dianggap berbahaya jika tak sejalan dengan garis kekuasaan. 

Marxisme, kritik sosial, atau pemikiran kiri lainnya tak diberi ruang hidup. Judul-judul seperti itu tak hanya dilarang beredar, tapi juga dibakar, disita atau sekadar hilang dari etalase toko buku.

“Setelah reformasi, ada ruang untuk bicara. Tapi kami sadar, selama puluhan tahun kita dibungkam, dibatasi. Itulah yang kami jawab lewat Marjin Kiri,” ujar Ronny Agustinus, pendiri sekaligus redaktur Marjin Kiri, dalam perayaan dua dekade penerbit ini, Sabtu (24/5/2025) di Gudskul Ecosystem, Jakarta Selatan.

Namun kebebasan tak datang utuh. Bahkan setelah reformasi, Marjin Kiri masih menghadapi represi. Tahun 2016, aparat merazia buku-buku terbitan mereka. Beberapa diskusi yang digelar Marjin Kiri pun kerap diawasi diam-diam. 

“Kami sempat tiarap. Tapi kami gak berhenti. Kami terbitkan buku-buku sastra, yang relatif lebih aman. Saatnya tiba, kami akan kembali dengan yang lebih kritis,” kata Ronny

Siasat dan napas panjang
Selama dua dekade, Marjin Kiri bukan hanya menolak lupa, tapi juga harus cerdik menyiasati kenyataan pasar. Tanpa sokongan modal besar, mereka membatasi cetakan untuk tiap judul, biasanya tak lebih dari dua ribu eksemplar.

“Kalau cetak 3 sampai 4 ribu eksemplar, itu sudah masuk ranah perjudian. Risiko ruginya besar. Tapi ya, kadang untungnya juga besar. Masalahnya modal kami terbatas,” kata lulusan IKJ jurusan Seni Murni ini

Meski tampak sunyi dibanding raksasa penerbit besar, Marjin Kiri tetap punya ceruk pembaca. Di tengah derasnya buku-buku motivasi, roman populer, dan biografi selebriti, buku-buku Marjin Kiri menjangkau segmen yang ingin berpikir, bertanya dan membantah.

“Dalam situasi sekarang yang serba bising dan serba cepat, membaca buku yang kritis bisa jadi bentuk perlawanan,” ucap Ronny. “Perlawanan untuk tetap jernih.”

Melampaui 20 Tahun
Kini, setelah 20 tahun berjalan, Marjin Kiri tak menatap balik dengan bangga tapi dengan kewaspadaan. Dunia buku terus berubah.

Distribusi bergeser ke digital. Pembaca kian terseleksi. Tapi, bagi Ronny, keberadaan Marjin Kiri bukan soal bertahan dalam hitung-hitungan bisnis semata.

“Kita coba 20 tahun lagi lah,” katanya sambil tertawa. Bukan janji bombastis. Tapi tekad yang lahir dari kesadaran menerbitkan buku bisa menjadi tindakan politik, sekaligus ruang untuk bernapas bagi nalar publik.



Penulis : Renita Sukma

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 28 Mei 2025

Dua Dekade Marjin Kiri, Bernapas di Sela-Sela Penjegalan dan Pasar Buku

Penerbit Marjin Kiri bertahan hingga usia dua puluh tahun. Bertarung melawan modal besar hingga keengganan membaca buku serius

Kover buku terbitan Marjin Kiri dipamerkan dalam acara Ulang Tahun ke 20 penerbit buku kritis itu,Sabtu (24/5/2025) di Gudskul Ekosistem, Jakarta Selatan/Context-Renita Sukma

Context.id, JAKARTA - Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat untuk sebuah penerbit kecil yang memilih berdiri di luar arus utama. Di tengah gempuran pasar, pengetatan ruang ekspresi, dan ancaman penertiban, Marjin Kiri terus bernapas. 

Sejak didirikan pada 1 Mei 2005, penerbit ini hadir sebagai respons atas trauma panjang kebungkaman Orde Baru.Pada masa itu, buku-buku dianggap berbahaya jika tak sejalan dengan garis kekuasaan. 

Marxisme, kritik sosial, atau pemikiran kiri lainnya tak diberi ruang hidup. Judul-judul seperti itu tak hanya dilarang beredar, tapi juga dibakar, disita atau sekadar hilang dari etalase toko buku.

“Setelah reformasi, ada ruang untuk bicara. Tapi kami sadar, selama puluhan tahun kita dibungkam, dibatasi. Itulah yang kami jawab lewat Marjin Kiri,” ujar Ronny Agustinus, pendiri sekaligus redaktur Marjin Kiri, dalam perayaan dua dekade penerbit ini, Sabtu (24/5/2025) di Gudskul Ecosystem, Jakarta Selatan.

Namun kebebasan tak datang utuh. Bahkan setelah reformasi, Marjin Kiri masih menghadapi represi. Tahun 2016, aparat merazia buku-buku terbitan mereka. Beberapa diskusi yang digelar Marjin Kiri pun kerap diawasi diam-diam. 

“Kami sempat tiarap. Tapi kami gak berhenti. Kami terbitkan buku-buku sastra, yang relatif lebih aman. Saatnya tiba, kami akan kembali dengan yang lebih kritis,” kata Ronny

Siasat dan napas panjang
Selama dua dekade, Marjin Kiri bukan hanya menolak lupa, tapi juga harus cerdik menyiasati kenyataan pasar. Tanpa sokongan modal besar, mereka membatasi cetakan untuk tiap judul, biasanya tak lebih dari dua ribu eksemplar.

“Kalau cetak 3 sampai 4 ribu eksemplar, itu sudah masuk ranah perjudian. Risiko ruginya besar. Tapi ya, kadang untungnya juga besar. Masalahnya modal kami terbatas,” kata lulusan IKJ jurusan Seni Murni ini

Meski tampak sunyi dibanding raksasa penerbit besar, Marjin Kiri tetap punya ceruk pembaca. Di tengah derasnya buku-buku motivasi, roman populer, dan biografi selebriti, buku-buku Marjin Kiri menjangkau segmen yang ingin berpikir, bertanya dan membantah.

“Dalam situasi sekarang yang serba bising dan serba cepat, membaca buku yang kritis bisa jadi bentuk perlawanan,” ucap Ronny. “Perlawanan untuk tetap jernih.”

Melampaui 20 Tahun
Kini, setelah 20 tahun berjalan, Marjin Kiri tak menatap balik dengan bangga tapi dengan kewaspadaan. Dunia buku terus berubah.

Distribusi bergeser ke digital. Pembaca kian terseleksi. Tapi, bagi Ronny, keberadaan Marjin Kiri bukan soal bertahan dalam hitung-hitungan bisnis semata.

“Kita coba 20 tahun lagi lah,” katanya sambil tertawa. Bukan janji bombastis. Tapi tekad yang lahir dari kesadaran menerbitkan buku bisa menjadi tindakan politik, sekaligus ruang untuk bernapas bagi nalar publik.



Penulis : Renita Sukma

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Dua Dekade Marjin Kiri, Bernapas di Sela-Sela Penjegalan dan Pasar Buku

Penerbit Marjin Kiri bertahan hingga usia dua puluh tahun. Bertarung melawan modal besar hingga keengganan membaca buku serius

Renita Sukma . 28 May 2025

Bahasa Inggris, Tiket ke Panggung Global

Keinginan masyarakat Indonesia untuk menembus dunia kerja dan pendidikan global terus meningkat. Namun satu hal mendasar justru tertinggal, kemamp ...

Renita Sukma . 27 May 2025

Soeharto Tetap Membayangi Meskipun Sudah 27 Tahun Lengser

Dua puluh tujuh tahun setelah Soeharto mengakhiri 32 tahun kekuasaannya, Indonesia kembali bergulat dengan warisan Orde Baru

Renita Sukma . 26 May 2025

Ketika Google AI Jadi Penata Gaya Kostum Pribadi

Bosan menebak-nebak apakah jaket baru itu bakal cocok dengan bentuk badanmu? Google punya jawabannya dan jawabannya bukan coba-coba, tapi algoritma.

Renita Sukma . 22 May 2025