Share

Home Unfold

Unfold 14 Mei 2025

Krisis Iklim Dilawan dengan Tumbler, Apa Bisa?

rnBagi banyak anak muda hari ini, kerusakan alam bisa menjadi pemicu kesadaran iklim dan tumbler menjadi simbol perlawanan mereka.

Ilustrasi Tumbler dan anak muda/Context-Puspa Larasati

Context.id, JAKARTA - Pernahkah kamu menyaksikan video seekor penyu laut menggeliat kesakitan karena sedotan plastik menyumbat hidungnya? Atau merasakan panas terik yang tiba-tiba berubah jadi hujan deras, hanya dalam hitungan menit? 

Bagi banyak anak muda hari ini, momen-momen semacam itu menjadi pemicu kesadaran iklim dan tumbler menjadi simbol perlawanan mereka.

Gerakan ini seolah sederhana, menolak sedotan plastik, membawa botol minum sendiri, memakai tote bag alih-alih kantong kresek. Tapi pertanyaannya seberapa besar dampak kita menenteng tumbler di tengah krisis iklim global yang kian mendesak?

Perubahan iklim, secara teknis, adalah perubahan jangka panjang suhu dan pola cuaca bumi. Namun dalam realitas sehari-hari, ia hadir dalam bentuk yang lebih akrab, jemuran yang tak kunjung kering, musim yang bergeser tanpa permisi, dan banjir yang makin sering.

Dulu, perubahan ini dianggap bagian dari siklus alam. Tapi sejak revolusi industri dimulai pada akhir 1800-an, aktivitas manusia pembakaran batu bara, minyak, dan gas menyuntikkan begitu banyak gas rumah kaca ke atmosfer, sehingga bumi seakan dibungkus selimut tak kasatmata. 

Makin tebal selimutnya, makin panas planet ini. Panasnya juga bukan main. NASA mencatat 2024 sebagai tahun terpanas sejak pencatatan dimulai pada 1880. Krisis ini bukan ancaman masa depan ini kenyataan hari ini.

Di tengah kenyataan itu, tumbler hadir bukan sebagai solusi ajaib, tetapi sebagai simbol. Plastik, bahan dari botol dan sedotan sekali pakai, bukan berasal dari pohon atau tumbuhan, melainkan dari etilena dan propilena turunan minyak bumi. 

Setiap plastik yang diproduksi dan dibuang berkontribusi langsung pada jejak karbon global. Namun, inisiatif individu hanya menyentuh permukaan. Lebih dari 50% polusi plastik dunia berasal dari segelintir perusahaan. 

Coca-Cola, Nestlé, PepsiCo dan puluhan raksasa industri lainnya menggantungkan model bisnis mereka pada plastik sekali pakai. Selama struktur ini tak berubah, kita akan terus kalah langkah.

Tetapi bukan berarti membawa tumbler itu sia-sia. Setiap tindakan kecil tetap punya makna apalagi jika dilakukan bersama. Harus ada kebijakan yang lahir dari tekanan publik. Artinya, membawa tumbler hanyalah langkah pertama. 

Langkah selanjutnya adalah menekan industri, mendorong regulasi, dan membentuk arus baru dari kesadaran menjadi perubahan. Jadi, selain tumbler yang sudah menemani harimu, apa lagi yang bisa kamu lakukan untuk menjaga planet ini?



Penulis : Renita Sukma

Editor   : Wahyu Arifin

Unfold 14 Mei 2025

Krisis Iklim Dilawan dengan Tumbler, Apa Bisa?

rnBagi banyak anak muda hari ini, kerusakan alam bisa menjadi pemicu kesadaran iklim dan tumbler menjadi simbol perlawanan mereka.

Ilustrasi Tumbler dan anak muda/Context-Puspa Larasati

Context.id, JAKARTA - Pernahkah kamu menyaksikan video seekor penyu laut menggeliat kesakitan karena sedotan plastik menyumbat hidungnya? Atau merasakan panas terik yang tiba-tiba berubah jadi hujan deras, hanya dalam hitungan menit? 

Bagi banyak anak muda hari ini, momen-momen semacam itu menjadi pemicu kesadaran iklim dan tumbler menjadi simbol perlawanan mereka.

Gerakan ini seolah sederhana, menolak sedotan plastik, membawa botol minum sendiri, memakai tote bag alih-alih kantong kresek. Tapi pertanyaannya seberapa besar dampak kita menenteng tumbler di tengah krisis iklim global yang kian mendesak?

Perubahan iklim, secara teknis, adalah perubahan jangka panjang suhu dan pola cuaca bumi. Namun dalam realitas sehari-hari, ia hadir dalam bentuk yang lebih akrab, jemuran yang tak kunjung kering, musim yang bergeser tanpa permisi, dan banjir yang makin sering.

Dulu, perubahan ini dianggap bagian dari siklus alam. Tapi sejak revolusi industri dimulai pada akhir 1800-an, aktivitas manusia pembakaran batu bara, minyak, dan gas menyuntikkan begitu banyak gas rumah kaca ke atmosfer, sehingga bumi seakan dibungkus selimut tak kasatmata. 

Makin tebal selimutnya, makin panas planet ini. Panasnya juga bukan main. NASA mencatat 2024 sebagai tahun terpanas sejak pencatatan dimulai pada 1880. Krisis ini bukan ancaman masa depan ini kenyataan hari ini.

Di tengah kenyataan itu, tumbler hadir bukan sebagai solusi ajaib, tetapi sebagai simbol. Plastik, bahan dari botol dan sedotan sekali pakai, bukan berasal dari pohon atau tumbuhan, melainkan dari etilena dan propilena turunan minyak bumi. 

Setiap plastik yang diproduksi dan dibuang berkontribusi langsung pada jejak karbon global. Namun, inisiatif individu hanya menyentuh permukaan. Lebih dari 50% polusi plastik dunia berasal dari segelintir perusahaan. 

Coca-Cola, Nestlé, PepsiCo dan puluhan raksasa industri lainnya menggantungkan model bisnis mereka pada plastik sekali pakai. Selama struktur ini tak berubah, kita akan terus kalah langkah.

Tetapi bukan berarti membawa tumbler itu sia-sia. Setiap tindakan kecil tetap punya makna apalagi jika dilakukan bersama. Harus ada kebijakan yang lahir dari tekanan publik. Artinya, membawa tumbler hanyalah langkah pertama. 

Langkah selanjutnya adalah menekan industri, mendorong regulasi, dan membentuk arus baru dari kesadaran menjadi perubahan. Jadi, selain tumbler yang sudah menemani harimu, apa lagi yang bisa kamu lakukan untuk menjaga planet ini?



Penulis : Renita Sukma

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Krisis Iklim Dilawan dengan Tumbler, Apa Bisa?

\r\nBagi banyak anak muda hari ini, kerusakan alam bisa menjadi pemicu kesadaran iklim dan tumbler menjadi simbol perlawanan mereka.

Renita Sukma . 14 May 2025

Etika Manusia vs Logika Mesin, Saat Sopan Santun Jadi Beban Data Center

Kenapa mengucapkan “tolong” dan “terima kasih” ke AI bisa merugikan jutaan dolar?

Naufal Jauhar Nazhif . 02 May 2025

Hari Perempuan Internasional Berawal dari Perjuangan Buruh!

Tanggal 8 Maret ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional. Kok bisa? Sepenting apa sampai dijadikan hari spesial?

Renita Sukma . 14 March 2025

Mengenal Kepulauan Cocos: Dekat ke Indonesia, Tapi Milik Australia

Masyarakat Kepulauan Cocos di Australia merupakan Melayu Muslim dari Nusantara yang dulu dibawa oleh saudagar di era kolonial

Naufal Jauhar Nazhif . 12 March 2025