Terancam Tarif AS, Indonesia Longgarkan Impor dan TKDN
Keputusan untuk melonggarkan kebijakan TKDN dan membuka keran impor seperti simalakama bagi Indonesia
Context.id, JAKARTA - Indonesia baru saja mengubah kebijakan ekonomi yang berpotensi mengubah arah kebijakan perdagangan global. Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengumumkan kebijakan baru yang memberi kebebasan lebih dalam hal impor.
Tanpa kuota lagi, siapa saja bisa mengimpor barang termasuk barang-barang strategis seperti daging, gula, dan gas. "Rakyat juga pandai kok, enggak usah ada kuota," ujar Prabowo, yang dengan jelas menyampaikan kebijakan tersebut sebagai bagian dari upaya untuk menanggulangi ketidakseimbangan dalam perdagangan internasional.
Keputusan ini, meskipun terkesan membuka peluang baru bagi para importir, datang di tengah ketegangan perdagangan yang semakin meningkat, terutama dengan Amerika Serikat.
Negara Adikuasa itu mengancam mengenakan tarif impor sebesar 32% terhadap barang-barang Indonesia, sebagai respons terhadap kebijakan Indonesia yang dianggap mempersulit masuknya produk mereka.
Salah satu contohnya adalah kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN), yang mewajibkan produk tertentu menggunakan bahan baku lokal dalam jumlah yang signifikan. Peraturan ini, meski bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri, dianggap oleh AS sebagai hambatan perdagangan.
Tarif tinggi yang dikenakan AS ini, seperti yang diungkapkan para ekonom, berisiko mengguncang perekonomian Indonesia. Dalam situasi tersebut, keputusan untuk melonggarkan kebijakan TKDN dan membuka keran impor menjadi langkah strategis meskipun penuh risiko.
Sebab, dengan membuka peluang impor secara lebih bebas, Indonesia berisiko mengalami defisit perdagangan yang lebih besar dan menekan daya saing industri dalam negeri.
Namun, kebijakan ini bukan tanpa kritik. Para ekonom lokal memperingatkan bahwa meskipun langkah ini mungkin menghindarkan Indonesia dari dampak lebih besar dari tarif AS, membuka pintu impor begitu lebar bisa merugikan industri dalam negeri.
Perusahaan-perusahaan lokal yang selama ini bergantung pada kebijakan TKDN untuk menekan persaingan produk luar negeri kini harus berhadapan dengan barang impor yang lebih murah dan berpotensi mengguncang daya beli domestik.
Ketegangan ini semakin tajam mengingat peran sektor industri dalam negeri yang semakin terdesak. Industri elektronik, tekstil, dan manufaktur yang beroperasi di Indonesia bisa saja harus menghadapi kenyataan pahit: penurunan produksi atau bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam jumlah besar.
Dalam skenario yang tak terhindarkan, Indonesia bisa terjebak dalam lingkaran setan yakni kebijakan yang melonggarkan impor dan TKDN sebagai respons terhadap tarif yang meningkat justru bisa memperburuk ketergantungan pada produk asing, menekan daya saing industri dalam negeri, dan memperburuk defisit perdagangan.
RELATED ARTICLES
Terancam Tarif AS, Indonesia Longgarkan Impor dan TKDN
Keputusan untuk melonggarkan kebijakan TKDN dan membuka keran impor seperti simalakama bagi Indonesia
Context.id, JAKARTA - Indonesia baru saja mengubah kebijakan ekonomi yang berpotensi mengubah arah kebijakan perdagangan global. Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengumumkan kebijakan baru yang memberi kebebasan lebih dalam hal impor.
Tanpa kuota lagi, siapa saja bisa mengimpor barang termasuk barang-barang strategis seperti daging, gula, dan gas. "Rakyat juga pandai kok, enggak usah ada kuota," ujar Prabowo, yang dengan jelas menyampaikan kebijakan tersebut sebagai bagian dari upaya untuk menanggulangi ketidakseimbangan dalam perdagangan internasional.
Keputusan ini, meskipun terkesan membuka peluang baru bagi para importir, datang di tengah ketegangan perdagangan yang semakin meningkat, terutama dengan Amerika Serikat.
Negara Adikuasa itu mengancam mengenakan tarif impor sebesar 32% terhadap barang-barang Indonesia, sebagai respons terhadap kebijakan Indonesia yang dianggap mempersulit masuknya produk mereka.
Salah satu contohnya adalah kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN), yang mewajibkan produk tertentu menggunakan bahan baku lokal dalam jumlah yang signifikan. Peraturan ini, meski bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri, dianggap oleh AS sebagai hambatan perdagangan.
Tarif tinggi yang dikenakan AS ini, seperti yang diungkapkan para ekonom, berisiko mengguncang perekonomian Indonesia. Dalam situasi tersebut, keputusan untuk melonggarkan kebijakan TKDN dan membuka keran impor menjadi langkah strategis meskipun penuh risiko.
Sebab, dengan membuka peluang impor secara lebih bebas, Indonesia berisiko mengalami defisit perdagangan yang lebih besar dan menekan daya saing industri dalam negeri.
Namun, kebijakan ini bukan tanpa kritik. Para ekonom lokal memperingatkan bahwa meskipun langkah ini mungkin menghindarkan Indonesia dari dampak lebih besar dari tarif AS, membuka pintu impor begitu lebar bisa merugikan industri dalam negeri.
Perusahaan-perusahaan lokal yang selama ini bergantung pada kebijakan TKDN untuk menekan persaingan produk luar negeri kini harus berhadapan dengan barang impor yang lebih murah dan berpotensi mengguncang daya beli domestik.
Ketegangan ini semakin tajam mengingat peran sektor industri dalam negeri yang semakin terdesak. Industri elektronik, tekstil, dan manufaktur yang beroperasi di Indonesia bisa saja harus menghadapi kenyataan pahit: penurunan produksi atau bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam jumlah besar.
Dalam skenario yang tak terhindarkan, Indonesia bisa terjebak dalam lingkaran setan yakni kebijakan yang melonggarkan impor dan TKDN sebagai respons terhadap tarif yang meningkat justru bisa memperburuk ketergantungan pada produk asing, menekan daya saing industri dalam negeri, dan memperburuk defisit perdagangan.
POPULAR
RELATED ARTICLES