Share

Home Originals

Originals 11 Februari 2025

Trump dan Gaza: Relokasi atau Pengusiran?

Rencana Donald Trump untuk mengambil alih Jalur Gaza dan merelokasi warga Palestina ke negara lain menuai kecaman

Ilustrasi Donald Trump dan Gaza/Context-Rizki Ghazali

Context.id, JAKARTA - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali memicu kontroversi dengan pernyataannya terkait Jalur Gaza. Dalam sebuah wawancara pada awal Februari 2025, Trump menyebut AS seharusnya mengambil alih Gaza sebagai bagian dari rencana rekonstruksi.

Pernyataan ini segera memicu reaksi keras. Trump menyebut solusi terbaik bagi Gaza adalah relokasi warganya ke negara lain di Timur Tengah, seperti Mesir dan Yordania, atau bahkan ke Indonesia.

"Kita tidak bisa terus membiarkan konflik bersenjata di sana. Gaza seharusnya menjadi wilayah yang terbuka bagi masyarakat dunia, dengan pembangunan ekonomi yang dipimpin oleh AS," ujar Trump dalam wawancara yang dikutip Al Jazeera.

Namun, ide ini mendapat penolakan luas. Pada 1 Februari 2025, negara-negara seperti Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, serta Otoritas Palestina menolak keras usulan tersebut.

Sejumlah pengamat menilai rencana Trump sejatinya sejalan dengan gagasan kelompok ultranasionalis sayap kanan Israel, yang menginginkan Gaza dikuasai penuh oleh Israel dan dihuni oleh pemukim Yahudi.

Kelompok ini selama ini mendukung perang berkelanjutan di Gaza, dengan tujuan akhir pengusiran total warga Palestina. Bahkan, beberapa tokoh ultranasionalis di Israel secara terbuka menyerukan agar konflik terus berlanjut tanpa batas waktu hingga Israel bisa merebut seluruh Gaza.

Penolakan terhadap rencana relokasi ini bukan hanya bersifat politis, tetapi juga memiliki konsekuensi hukum. Menurut Konvensi Jenewa dan hukum internasional, pemindahan paksa penduduk dari wilayah konflik dianggap sebagai pelanggaran serius.

Meskipun ide relokasi ini masih sebatas wacana, dampaknya sudah terasa di berbagai forum diplomatik. Negara-negara Arab menegaskan bahwa solusi bagi Gaza harus tetap mengacu pada perdamaian yang adil, bukan melalui pemindahan paksa warganya.

Sampai saat ini, situasi di Gaza masih jauh dari stabil. Konflik yang berkepanjangan, blokade yang terus berlangsung, serta gagasan relokasi ini semakin menambah ketidakpastian bagi dua juta warga Palestina yang masih bertahan di wilayah tersebut.



Penulis : Naufal Jauhar Nazhif

Editor   : Wahyu Arifin

Home Originals

Originals 11 Februari 2025

Trump dan Gaza: Relokasi atau Pengusiran?

Rencana Donald Trump untuk mengambil alih Jalur Gaza dan merelokasi warga Palestina ke negara lain menuai kecaman

Ilustrasi Donald Trump dan Gaza/Context-Rizki Ghazali

Context.id, JAKARTA - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali memicu kontroversi dengan pernyataannya terkait Jalur Gaza. Dalam sebuah wawancara pada awal Februari 2025, Trump menyebut AS seharusnya mengambil alih Gaza sebagai bagian dari rencana rekonstruksi.

Pernyataan ini segera memicu reaksi keras. Trump menyebut solusi terbaik bagi Gaza adalah relokasi warganya ke negara lain di Timur Tengah, seperti Mesir dan Yordania, atau bahkan ke Indonesia.

"Kita tidak bisa terus membiarkan konflik bersenjata di sana. Gaza seharusnya menjadi wilayah yang terbuka bagi masyarakat dunia, dengan pembangunan ekonomi yang dipimpin oleh AS," ujar Trump dalam wawancara yang dikutip Al Jazeera.

Namun, ide ini mendapat penolakan luas. Pada 1 Februari 2025, negara-negara seperti Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, serta Otoritas Palestina menolak keras usulan tersebut.

Sejumlah pengamat menilai rencana Trump sejatinya sejalan dengan gagasan kelompok ultranasionalis sayap kanan Israel, yang menginginkan Gaza dikuasai penuh oleh Israel dan dihuni oleh pemukim Yahudi.

Kelompok ini selama ini mendukung perang berkelanjutan di Gaza, dengan tujuan akhir pengusiran total warga Palestina. Bahkan, beberapa tokoh ultranasionalis di Israel secara terbuka menyerukan agar konflik terus berlanjut tanpa batas waktu hingga Israel bisa merebut seluruh Gaza.

Penolakan terhadap rencana relokasi ini bukan hanya bersifat politis, tetapi juga memiliki konsekuensi hukum. Menurut Konvensi Jenewa dan hukum internasional, pemindahan paksa penduduk dari wilayah konflik dianggap sebagai pelanggaran serius.

Meskipun ide relokasi ini masih sebatas wacana, dampaknya sudah terasa di berbagai forum diplomatik. Negara-negara Arab menegaskan bahwa solusi bagi Gaza harus tetap mengacu pada perdamaian yang adil, bukan melalui pemindahan paksa warganya.

Sampai saat ini, situasi di Gaza masih jauh dari stabil. Konflik yang berkepanjangan, blokade yang terus berlangsung, serta gagasan relokasi ini semakin menambah ketidakpastian bagi dua juta warga Palestina yang masih bertahan di wilayah tersebut.



Penulis : Naufal Jauhar Nazhif

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Mixue Jadi Perusahaan FnB Terbesar di Dunia, Salip McD dan Starbucks!

Mixue baru saja mencetak sejarah dengan memiliki lebih dari 45.000 gerai yang tersebar di 12 negara, terutama di Asia dan Australia

Naufal Jauhar Nazhif . 11 March 2025

Halte Transjakarta Ubah Nama Jadi Halte Petukangan D’Masiv, Kok Bisa?

D’Masiv tidak membeli hak penamaan halte, melainkan bekerja sama dengan PT Transportasi Jakarta untuk kampanye edukasi transportasi publik

Context.id . 10 March 2025

SilverQueen: Cokelat Asli Indonesia yang Dikira dari Eropa!

SilverQueen berasal dari Garut, Jawa Barat dan sangat disukai Presiden Soekarno hingga pernah jadi kudapan di KAA 1955

Naufal Jauhar Nazhif . 06 March 2025

Mengenal Seven Summits Indonesia, Puncak-Puncak Tertinggi di Setiap Pulau

Konsep Seven Summits berasal dari dunia pendakian internasional, yang merujuk pada tujuh gunung tertinggi di masing-masing benua

Naufal Jauhar Nazhif . 05 March 2025