Share

Home Stories

Stories 26 Mei 2023

Penerapan Teknologi Jadi Kunci Dorong Regenerasi Petani

Milenial cenderung menganggap bekerja di sektor pertanian berarti memiliki masa depan suram. Teknologi bisa jadi solusi untuk mengubahnya.

petani kopi sedang memetik biji kopi yang sudah mulai memasuki masa panen

Context.id, JAKARTA - Rata-rata usia petani di Tanah Air terus bertambah. Upaya regenerasi pun tampak lambat, sebab para milenial cenderung menganggap sektor pertanian kurang memiliki masa depan menjanjikan.

Buktinya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa proporsi pemuda yang bekerja di sektor pertanian terus menurun secara signifikan. Pada 2011, tercatat masih ada 29,18 persen pemuda yang bekerja di sektor pertanian, namun persentasenya anjlok menjadi sebesar 19,18 persen pada 2021.

Berdasarkan kelompok usia, petani berumur 45-54 tahun masih mendominasi, yaitu 9,19 juta jiwa. Disusul petani kelompok usia 35-44 tahun yang mencapai 8,17 juta jiwa, kemudian petani berusia 55-64 tahun sebanyak 6,95 juta jiwa.

Ironisnya, petani yang berusia 25-34 tahun tercatat hanya sebanyak 4,1 juta jiwa. Angka ini tercatat setara kelompok umur petani di atas 65 tahun yang masih mencapai 4,19 juta jiwa.

CEO Koltiva Manfred Borer, pegiat perusahaan teknologi rintisan sektor agritech, menyebut bahwa masih bertahannya rantai pasok konvensional pada mayoritas komoditas pertanian di Indonesia merupakan salah satu akar masalah. Jadi penerapan teknologi merupakan solusi meningkatkan daya saing.

Sebagai contoh, Manfred menjelaskan bahwa komoditas kopi dan cokelat dari Indonesia sebenarnya begitu menarik untuk pasar internasional, bahkan dihargai cukup mahal apabila memenuhi standar kualitas tertentu.

Sayangnya, dari sisi hulu alias para petani itu sendiri tidak semuanya sadar mengoptimalkan potensi tersebut. Pemisahan akan standar komoditas bersangkutan lebih banyak dilakukan oleh para middle-man.

Oleh sebab itu, Manfred melalui Koltiva berupaya membantu dari sisi akses ilmu, pasar, permodalan, sampai jejaring untuk para petani yang mau mengoptimalkan lahan produksinya sesuai kebutuhan pasar internasional.

Penerapan teknologi pun bukan hanya dari sisi menekan beban produksi dan meningkatkan kualitas, namun juga bagaimana mendorong setiap produk sesuai dengan praktik-praktik pertanian keberlanjutan.

"Konsumen di dunia, terutama Eropa, terbilang mau memberikan additional cost alias merogoh kantong sedikit lebih dalam, untuk produk yang memiliki nilai tambah dari sisi sustainability. Harapannya, dengan harga jual yang lebih menarik, regenerasi petani di Indonesia bisa berjalan lebih baik," tambahnya.

Senada, President Director of Syngenta Indonesia Kazim Hasnain menjelaskan bahwa upaya mendorong aspek keberlanjutan untuk sektor pertanian di Indonesia sebenarnya seperti investasi dalam rangka regenerasi petani muda.

Pasalnya, Kazim melihat adanya tren penurunan hasil panen di Tanah Air yang disebabkan rusaknya lahan produksi karena banyak petani tergoda memaksimalkan profit lewat bahan-bahan perawatan tanaman berharga murah, namun tidak sustainable.

"Meyakinkan petani untuk sedikit berinvestasi kepada produk yang lebih sustainable tidak lah mudah. Tapi kalau dibiarkan terus-menerus, hasil produksi bisa semakin anjlok, sehingga ujung-ujungnya para petani generasi muda merasa tidak worth it lagi untuk meneruskan lahan itu," jelasnya.

Padahal, menurutnya praktik-praktik pertanian konvensional di Indonesia pun masih membawa beban produksi yang signifikan. Misalnya, pencabutan gulma secara manual atau pemanfaatan tenaga kerja lepas yang berlebihan pada momen tertentu.

Alhasil, dalam pandangan Kazim, apabila cost tersebut bisa ditekan lewat pemanfaatan teknologi, kemungkinan besar para petani bisa lebih terbuka untuk investasi terhadap produk-produk perawatan tanaman yang lebih sustainable.



Penulis : Aziz Rahardyan

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 26 Mei 2023

Penerapan Teknologi Jadi Kunci Dorong Regenerasi Petani

Milenial cenderung menganggap bekerja di sektor pertanian berarti memiliki masa depan suram. Teknologi bisa jadi solusi untuk mengubahnya.

petani kopi sedang memetik biji kopi yang sudah mulai memasuki masa panen

Context.id, JAKARTA - Rata-rata usia petani di Tanah Air terus bertambah. Upaya regenerasi pun tampak lambat, sebab para milenial cenderung menganggap sektor pertanian kurang memiliki masa depan menjanjikan.

Buktinya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa proporsi pemuda yang bekerja di sektor pertanian terus menurun secara signifikan. Pada 2011, tercatat masih ada 29,18 persen pemuda yang bekerja di sektor pertanian, namun persentasenya anjlok menjadi sebesar 19,18 persen pada 2021.

Berdasarkan kelompok usia, petani berumur 45-54 tahun masih mendominasi, yaitu 9,19 juta jiwa. Disusul petani kelompok usia 35-44 tahun yang mencapai 8,17 juta jiwa, kemudian petani berusia 55-64 tahun sebanyak 6,95 juta jiwa.

Ironisnya, petani yang berusia 25-34 tahun tercatat hanya sebanyak 4,1 juta jiwa. Angka ini tercatat setara kelompok umur petani di atas 65 tahun yang masih mencapai 4,19 juta jiwa.

CEO Koltiva Manfred Borer, pegiat perusahaan teknologi rintisan sektor agritech, menyebut bahwa masih bertahannya rantai pasok konvensional pada mayoritas komoditas pertanian di Indonesia merupakan salah satu akar masalah. Jadi penerapan teknologi merupakan solusi meningkatkan daya saing.

Sebagai contoh, Manfred menjelaskan bahwa komoditas kopi dan cokelat dari Indonesia sebenarnya begitu menarik untuk pasar internasional, bahkan dihargai cukup mahal apabila memenuhi standar kualitas tertentu.

Sayangnya, dari sisi hulu alias para petani itu sendiri tidak semuanya sadar mengoptimalkan potensi tersebut. Pemisahan akan standar komoditas bersangkutan lebih banyak dilakukan oleh para middle-man.

Oleh sebab itu, Manfred melalui Koltiva berupaya membantu dari sisi akses ilmu, pasar, permodalan, sampai jejaring untuk para petani yang mau mengoptimalkan lahan produksinya sesuai kebutuhan pasar internasional.

Penerapan teknologi pun bukan hanya dari sisi menekan beban produksi dan meningkatkan kualitas, namun juga bagaimana mendorong setiap produk sesuai dengan praktik-praktik pertanian keberlanjutan.

"Konsumen di dunia, terutama Eropa, terbilang mau memberikan additional cost alias merogoh kantong sedikit lebih dalam, untuk produk yang memiliki nilai tambah dari sisi sustainability. Harapannya, dengan harga jual yang lebih menarik, regenerasi petani di Indonesia bisa berjalan lebih baik," tambahnya.

Senada, President Director of Syngenta Indonesia Kazim Hasnain menjelaskan bahwa upaya mendorong aspek keberlanjutan untuk sektor pertanian di Indonesia sebenarnya seperti investasi dalam rangka regenerasi petani muda.

Pasalnya, Kazim melihat adanya tren penurunan hasil panen di Tanah Air yang disebabkan rusaknya lahan produksi karena banyak petani tergoda memaksimalkan profit lewat bahan-bahan perawatan tanaman berharga murah, namun tidak sustainable.

"Meyakinkan petani untuk sedikit berinvestasi kepada produk yang lebih sustainable tidak lah mudah. Tapi kalau dibiarkan terus-menerus, hasil produksi bisa semakin anjlok, sehingga ujung-ujungnya para petani generasi muda merasa tidak worth it lagi untuk meneruskan lahan itu," jelasnya.

Padahal, menurutnya praktik-praktik pertanian konvensional di Indonesia pun masih membawa beban produksi yang signifikan. Misalnya, pencabutan gulma secara manual atau pemanfaatan tenaga kerja lepas yang berlebihan pada momen tertentu.

Alhasil, dalam pandangan Kazim, apabila cost tersebut bisa ditekan lewat pemanfaatan teknologi, kemungkinan besar para petani bisa lebih terbuka untuk investasi terhadap produk-produk perawatan tanaman yang lebih sustainable.



Penulis : Aziz Rahardyan

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Hitungan Prabowo Soal Uang Kasus CPO Rp13,2 Triliun, Bisa Buat Apa Saja?

Presiden Prabowo Subianto melakukan perhitungan terkait uang kasus korupsi CPO Rp13,2 triliun yang ia sebut bisa digunakan untuk membangun desa ne ...

Renita Sukma . 20 October 2025

Polemik IKN Sebagai Ibu Kota Politik, Ini Kata Kemendagri dan Pengamat

Terminologi ibu kota politik yang melekat kepada IKN dianggap rancu karena bertentangan dengan UU IKN. r n r n

Renita Sukma . 18 October 2025

Dilema Kebijakan Rokok: Penerimaan Negara Vs Kesehatan Indonesia

Menkeu Purbaya ingin menggairahkan kembali industri rokok dengan mengerem cukai, sementara menteri sebelumnya Sri Mulyani gencar menaikkan cukai d ...

Jessica Gabriela Soehandoko . 15 October 2025

Di Tengah Ketidakpastian Global, Emas Justru Terus Mengkilap

Meskipun secara historis dianggap sebagai aset lindung nilai paling aman, emas kerap ikut tertekan ketika terjadi aksi jual besar-besaran di pasar ...

Jessica Gabriela Soehandoko . 13 October 2025