Bagaimana Sejarah dari Hari Perempuan Sedunia?
Setiap tanggal 8 Maret, dunia merayakan hari perempuan sedunia. Memang bagaimana sejarahnya?
Context.id, JAKARTA - Setiap tanggal 8 Maret, dunia merayakan hari perempuan sedunia. Hal ini dilakukan untuk menyelebrasi sosial, ekonomi, budaya, dan pencapaian politik perempuan dari seluruh dunia.
Dikutip dari Indian Express, hal ini pertama kali muncul pada awal tahun 1909 saat ada sekitar 15.000 wanita berbaris di New York City, Amerika yang menuntut jam kerja yang lebih pendek, gaji yang lebih baik, serta hak suara yang sama.
Dikutip dari Brookings Edu, pada awal abad ke-20, hanya 20 persen perempuan Amerika yang memiliki penghasilan. Pasalnya, pada saat itu, sebagian besar perempuan tidak memiliki pendidikan.
Data menunjukkan bahwa hanya dua persen dari remaja berusia 18-24 tahun terdaftar di perguruan tinggi dan hanya sekitar sepertiganya saja yang berjenis kelamin perempuan.
Oleh karena itu, ketika perempuan bekerja, mereka hanya bisa menjadi buruh borongan di pabrik atau sebagai pekerja rumah tangga. Kemudian, bagi para perempuan yang telah menikah juga mayoritas seakan “dipaksa” untuk tidak bekerja dan mengandalkan pendapatan dari suami mereka.
Sekitar satu tahun setelahnya, Konferensi Internasional Wanita Pekerja II diadakan di Kopenhagen, Denmark. Pada saat itulah, pemimpin kantor perempuan di Partai Sosial Demokrat Jerman, Clara Zetkin mengajukan gagasan mengenai Hari Perempuan Internasional untuk mengurangi kesenjangan gender ini.
Hari perempuan internasional pun mulai dirayakan pertama kalinya pada 9 Maret 1911 di Austria, Denmark, Jerman, dan Swiss. Menariknya, setelah itu perlahan jarak kesenjangan gender mulai mengecil. Banyak perempuan yang mulai berkumpul untuk memprakasai perubahan-perubahan, termasuk mengenai hak pilih.
Sekitar tahun 1930-1970, partisipasi perempuan dalam ekonomi terus meningkat dan jumlah pekerja perempuan yang sudah menikah juga semakin meningkat. Pada 1970, 50 persen perempuan lajang dan 40 persen perempuan yang sudah berkeluarga turut berpartisipasi di tenaga kerja.
Pasalnya, sekolah menengah umum semakin banyak dan tingkat kelulusan perempuan juga semakin meningkat. Selain itu, stigma mengenai perempuan yang merupakan pencari nafkah sekunder juga perlahan menghilang.
Beberapa perempuan juga mulai bersekolah untuk mendapatkan pengetahuan yang dapat menunjang pekerjaan, baik mereka yang berencana untuk menikah ataupun tidak. Penyeimbangan yang dilakukan perempuan, antara kerja dan keluarga juga mulai terasa.
Bahkan, pada tahun 1970an, perempuan muda lebih sering berharap bahwa mereka akan menghabiskan sebagian besar hidup mereka dalam angkatan kerja dan membangun karier mereka.
Akhirnya, pada 1977, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mulai merayakan hari perempuan internasional dan diperingati secara luas setiap tanggal 8 Maret setiap tahun.
Tema Hari Perempuan Internasional 2023
Menurut PBB, tema hari perempuan internasional 2023 adalah “DigitALL: Innovation and technology for gender equality”. Tema inipun diangkat untuk menekankan pentingnya teknologi dalam mengangkat isu gender.
Dikutip dari Indian Express, Direktur Jenderal UNESCO, Audrey Azoulay menyatakan bahwa ia ingin memuji generasi baru perempuan muda ini.
“Tahun ini, pada hari perempuan internasional, saya ingin memuji generasi baru perempuan muda ini, atas keberanian mereka berbicara, menginspirasi orang lain, dan memobilisasi rekan-rekan mereka untuk hari esok yang lebih berkelanjutan,” ujar Audrey.
RELATED ARTICLES
Bagaimana Sejarah dari Hari Perempuan Sedunia?
Setiap tanggal 8 Maret, dunia merayakan hari perempuan sedunia. Memang bagaimana sejarahnya?
Context.id, JAKARTA - Setiap tanggal 8 Maret, dunia merayakan hari perempuan sedunia. Hal ini dilakukan untuk menyelebrasi sosial, ekonomi, budaya, dan pencapaian politik perempuan dari seluruh dunia.
Dikutip dari Indian Express, hal ini pertama kali muncul pada awal tahun 1909 saat ada sekitar 15.000 wanita berbaris di New York City, Amerika yang menuntut jam kerja yang lebih pendek, gaji yang lebih baik, serta hak suara yang sama.
Dikutip dari Brookings Edu, pada awal abad ke-20, hanya 20 persen perempuan Amerika yang memiliki penghasilan. Pasalnya, pada saat itu, sebagian besar perempuan tidak memiliki pendidikan.
Data menunjukkan bahwa hanya dua persen dari remaja berusia 18-24 tahun terdaftar di perguruan tinggi dan hanya sekitar sepertiganya saja yang berjenis kelamin perempuan.
Oleh karena itu, ketika perempuan bekerja, mereka hanya bisa menjadi buruh borongan di pabrik atau sebagai pekerja rumah tangga. Kemudian, bagi para perempuan yang telah menikah juga mayoritas seakan “dipaksa” untuk tidak bekerja dan mengandalkan pendapatan dari suami mereka.
Sekitar satu tahun setelahnya, Konferensi Internasional Wanita Pekerja II diadakan di Kopenhagen, Denmark. Pada saat itulah, pemimpin kantor perempuan di Partai Sosial Demokrat Jerman, Clara Zetkin mengajukan gagasan mengenai Hari Perempuan Internasional untuk mengurangi kesenjangan gender ini.
Hari perempuan internasional pun mulai dirayakan pertama kalinya pada 9 Maret 1911 di Austria, Denmark, Jerman, dan Swiss. Menariknya, setelah itu perlahan jarak kesenjangan gender mulai mengecil. Banyak perempuan yang mulai berkumpul untuk memprakasai perubahan-perubahan, termasuk mengenai hak pilih.
Sekitar tahun 1930-1970, partisipasi perempuan dalam ekonomi terus meningkat dan jumlah pekerja perempuan yang sudah menikah juga semakin meningkat. Pada 1970, 50 persen perempuan lajang dan 40 persen perempuan yang sudah berkeluarga turut berpartisipasi di tenaga kerja.
Pasalnya, sekolah menengah umum semakin banyak dan tingkat kelulusan perempuan juga semakin meningkat. Selain itu, stigma mengenai perempuan yang merupakan pencari nafkah sekunder juga perlahan menghilang.
Beberapa perempuan juga mulai bersekolah untuk mendapatkan pengetahuan yang dapat menunjang pekerjaan, baik mereka yang berencana untuk menikah ataupun tidak. Penyeimbangan yang dilakukan perempuan, antara kerja dan keluarga juga mulai terasa.
Bahkan, pada tahun 1970an, perempuan muda lebih sering berharap bahwa mereka akan menghabiskan sebagian besar hidup mereka dalam angkatan kerja dan membangun karier mereka.
Akhirnya, pada 1977, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mulai merayakan hari perempuan internasional dan diperingati secara luas setiap tanggal 8 Maret setiap tahun.
Tema Hari Perempuan Internasional 2023
Menurut PBB, tema hari perempuan internasional 2023 adalah “DigitALL: Innovation and technology for gender equality”. Tema inipun diangkat untuk menekankan pentingnya teknologi dalam mengangkat isu gender.
Dikutip dari Indian Express, Direktur Jenderal UNESCO, Audrey Azoulay menyatakan bahwa ia ingin memuji generasi baru perempuan muda ini.
“Tahun ini, pada hari perempuan internasional, saya ingin memuji generasi baru perempuan muda ini, atas keberanian mereka berbicara, menginspirasi orang lain, dan memobilisasi rekan-rekan mereka untuk hari esok yang lebih berkelanjutan,” ujar Audrey.
POPULAR
RELATED ARTICLES