Share

Home Originals

Originals 04 Mei 2025

The Two Popes, Progresif dan Tradisionalis

Antara warisan progresif Fransiskus dan bayang-bayang Benediktus

Context.id, JAKARTA - Ketika kabar wafatnya Paus Fransiskus menyebar pada 21 April 2025, duka tak hanya melingkupi umat Katolik. Dunia turut bersedih. Fransiskus adalah paus yang kerap keluar dari tembok Vatikan secara harfiah maupun simbolis.

Ia mencuci kaki migran dan narapidana, menyulap alun-alun Vatikan menjadi tempat perlindungan bagi tunawisma, bahkan menyebut mereka “bangsawan jalanan.”

Selama lebih dari satu dekade, Fransiskus menjelma sebagai pemimpin spiritual yang tak sekadar mengutip Injil, tapi juga laporan iklim, statistik kesenjangan, dan wacana sosial kontemporer. Ia bicara tentang “tobat ekologis,” mengulurkan tangan pada komunitas LGBTQ+, dan tak ragu meminta maaf secara terbuka atas dosa-dosa Gereja, termasuk soal pelecehan seksual.

Langkah-langkah ini menjadikannya tokoh moral yang dihormati lintas iman. Namun, dalam Gereja Katolik sendiri, ia bukan sosok tanpa kontroversi.

Fransiskus kerap disandingkan atau dibenturkan dengan pendahulunya, Paus Benediktus XVI. Jika Fransiskus adalah simbol pembaruan, maka Benediktus adalah sang penjaga tradisi. Setelah mengundurkan diri pada 2013 sesuatu yang belum pernah terjadi selama hampir 600 tahun Benediktus tetap berpengaruh. 

Dalam surat terbukanya tahun 2019, ia menyalahkan budaya permisif era 1960-an dan hilangnya Tuhan dari diskursus publik sebagai biang krisis moral Gereja. Jauh berbeda dari Fransiskus, yang menilai akar masalahnya adalah penyalahgunaan kekuasaan dalam institusi Gereja itu sendiri.

Dua pendekatan itu memunculkan semacam dikotomi di Vatikan, progresif versus tradisionalis. Namun, ironisnya, Benediktus sendiri menolak anggapan bahwa Gereja terbelah. “Saat ini hanya ada satu paus, yaitu Paus Fransiskus,” ujarnya. Sebuah pengakuan akan pentingnya kesatuan di tengah perbedaan tafsir iman.

Mungkin memang begitulah Gereja Katolik hari ini, tradisi dua milenium yang kini diuji oleh dunia yang lebih cair, lebih plural, dan lebih bising. Fransiskus, paus pertama dari bumi selatan,anak migran dari Argentina, menjadi simbol pergeseran global Gereja ke luar Eropa, ke arah yang lebih inklusif dan terbuka.

Apakah warisan Fransiskus akan bertahan? Atau akan tergantikan oleh arus balik konservatisme? Jawabannya mungkin tak bisa dirumuskan dalam satu dokumen gerejawi.

Tapi yang pasti, dua paus terakhir telah menunjukkan, bahkan di dalam Vatikan, perbedaan bukanlah kutukan melainkan bagian dari percakapan.



Penulis : Naufal Jauhar Nazhif

Editor   : Wahyu Arifin

Originals 04 Mei 2025

The Two Popes, Progresif dan Tradisionalis

Antara warisan progresif Fransiskus dan bayang-bayang Benediktus

Context.id, JAKARTA - Ketika kabar wafatnya Paus Fransiskus menyebar pada 21 April 2025, duka tak hanya melingkupi umat Katolik. Dunia turut bersedih. Fransiskus adalah paus yang kerap keluar dari tembok Vatikan secara harfiah maupun simbolis.

Ia mencuci kaki migran dan narapidana, menyulap alun-alun Vatikan menjadi tempat perlindungan bagi tunawisma, bahkan menyebut mereka “bangsawan jalanan.”

Selama lebih dari satu dekade, Fransiskus menjelma sebagai pemimpin spiritual yang tak sekadar mengutip Injil, tapi juga laporan iklim, statistik kesenjangan, dan wacana sosial kontemporer. Ia bicara tentang “tobat ekologis,” mengulurkan tangan pada komunitas LGBTQ+, dan tak ragu meminta maaf secara terbuka atas dosa-dosa Gereja, termasuk soal pelecehan seksual.

Langkah-langkah ini menjadikannya tokoh moral yang dihormati lintas iman. Namun, dalam Gereja Katolik sendiri, ia bukan sosok tanpa kontroversi.

Fransiskus kerap disandingkan atau dibenturkan dengan pendahulunya, Paus Benediktus XVI. Jika Fransiskus adalah simbol pembaruan, maka Benediktus adalah sang penjaga tradisi. Setelah mengundurkan diri pada 2013 sesuatu yang belum pernah terjadi selama hampir 600 tahun Benediktus tetap berpengaruh. 

Dalam surat terbukanya tahun 2019, ia menyalahkan budaya permisif era 1960-an dan hilangnya Tuhan dari diskursus publik sebagai biang krisis moral Gereja. Jauh berbeda dari Fransiskus, yang menilai akar masalahnya adalah penyalahgunaan kekuasaan dalam institusi Gereja itu sendiri.

Dua pendekatan itu memunculkan semacam dikotomi di Vatikan, progresif versus tradisionalis. Namun, ironisnya, Benediktus sendiri menolak anggapan bahwa Gereja terbelah. “Saat ini hanya ada satu paus, yaitu Paus Fransiskus,” ujarnya. Sebuah pengakuan akan pentingnya kesatuan di tengah perbedaan tafsir iman.

Mungkin memang begitulah Gereja Katolik hari ini, tradisi dua milenium yang kini diuji oleh dunia yang lebih cair, lebih plural, dan lebih bising. Fransiskus, paus pertama dari bumi selatan,anak migran dari Argentina, menjadi simbol pergeseran global Gereja ke luar Eropa, ke arah yang lebih inklusif dan terbuka.

Apakah warisan Fransiskus akan bertahan? Atau akan tergantikan oleh arus balik konservatisme? Jawabannya mungkin tak bisa dirumuskan dalam satu dokumen gerejawi.

Tapi yang pasti, dua paus terakhir telah menunjukkan, bahkan di dalam Vatikan, perbedaan bukanlah kutukan melainkan bagian dari percakapan.



Penulis : Naufal Jauhar Nazhif

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Miskin Versi Bank Dunia, Benarkah 7 dari 10 Orang Indonesia Miskin?

Jika lebih dari setengah warga negara ini dianggap miskin oleh standar global, artinya sudah seberapa jauh standar hidup kita tertinggal?

Naufal Jauhar Nazhif . 20 June 2025

Kenapa Kita Kalah dari Malaysia dan Thailand Soal Wisata Medis?

Indonesia kehilangan sekitar Rp165 triliun setiap tahun hanya karena warganya memilih berobat ke luar negeri

Renita Sukma . 17 June 2025

Dari Bulan ke Asteroid, China Mengincar Langit Lebih Tinggi

Peluncuran Tianwen-2 meluncur ke antariksa membuat dunia menyaksikan babak baru dari persaingan galaksi antara negara Barat dengan China yang mewa ...

Renita Sukma . 16 June 2025

Melihat Pundi-pundi Kekayaan Istri Presiden Prancis, Brigitte Macron

Dari pewaris cokelat hingga ibu negara paling mandiri secara finansial di Eropa

Naufal Jauhar Nazhif . 13 June 2025