Share

Home Originals

Originals 28 April 2025

Emas Diburu dan Harganya Melambung, Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Seperti banyak fenomena dalam pasar keuangan, emas bergerak mengikuti kekuatan klasik ketakutan, ketidakpastian dan tentu saja, logika ekonomi dasar.

Ilustrasi harga emas/Context-Rizki Ghazali

Context.id, JAKARTA - Dalam dunia yang kian tidak pasti, masyarakat kembali melakukan sesuatu yang klasik: memburu emas. Bukan untuk membuat perhiasan, melainkan untuk melindungi nilai. Selama beberapa bulan terakhir, harga emas melesat tajam.

Dari Rp1,13 juta per gram di akhir 2023, lalu Rp1,5 juta di akhir 2024 dan sempat diperdagangkan di atas Rp2 juta per gram hanya dalam waktu empat bulan. Sebuah lonjakan hampir Rp900 ribu yang cukup membuat investor, dan bahkan awam sekalipun, melirik kembali logam mulia ini.

Kenaikan ini bukan tanpa alasan. Seperti banyak fenomena dalam pasar keuangan, emas bergerak mengikuti kekuatan klasik: ketakutan, ketidakpastian dan tentu saja, logika ekonomi dasar. Inflasi menjadi pendorong pertama. Saat harga kebutuhan pokok naik dan daya beli mata uang tergerus, emas tampil sebagai penyelamat. 

Emas bukan sekadar komoditas tapi simbol ketahanan melawan erosi nilai. Di tengah inflasi global yang membayangi pasca pandemi dan ketegangan geopolitik, permintaan terhadap emas melonjak alami. Namun, bukan hanya inflasi yang bermain. Hukum penawaran dan permintaan bekerja dengan sederhana namun brutal. 

Ketika semakin banyak orang memburu emas baik untuk investasi jangka panjang maupun untuk sekadar "berlindung" sementara produksi tetap stagnan, harga pun terdorong ke langit. Ada faktor lain yang beroperasi lebih sunyi namun sama kuatnya yakni suku bunga Federal Reserve. 

Suku bunga riil rendah atau bahkan negatif setelah disesuaikan dengan inflasi, investor merasa kurang tertarik menahan uang tunai atau deposito.  Mereka mencari alternatif. Emas, dengan statusnya sebagai aset keras, menjadi jawabannya.

Sementara itu, nilai tukar dolar AS turut memperparah dinamika ini. Karena emas diperdagangkan dalam dolar, setiap pelemahan dolar membuat harga emas dalam mata uang lain, termasuk rupiah, terasa lebih mahal. 

Bagi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, ini menciptakan dorongan tambahan untuk mengamankan emas sebelum harganya lebih sulit dijangkau. Tidak kalah penting adalah faktor ketidakpastian global. 

Ketika dunia dihantui oleh perang dagang, konflik kawasan, pandemi, hingga ketegangan diplomatik, emas selalu menawarkan satu hal yang jarang ditemukan dalam dunia modern yaitu rasa aman. Dalam ketidakpastian, emas terasa lebih nyata daripada sekuritas, lebih dapat dipercaya dibanding janji-janji politikus.

Namun, di balik semua euforia, ada pelajaran penting yang tidak boleh diabaikan. Membeli emas hanya karena semua orang melakukannya bukanlah strategi investasi yang cerdas. Sejarah telah berulang kali membuktikan bahwa harga emas bisa anjlok secepat ia melonjak. Mereka yang tergesa-gesa membeli di puncak biasanya menemukan diri mereka menjual di dasar.

Investasi emas, seperti semua investasi, memerlukan kesabaran, disiplin, dan, yang paling penting, pemahaman tentang risikonya. Emas idealnya dibeli dengan "uang dingin" dana yang memang tidak akan disentuh dalam jangka panjang, bukan dari tabungan harian atau dana darurat.

Gelombang pembelian emas saat ini adalah cerminan dari dunia yang semakin gelisah. Tapi dalam gelisah itu, bagi mereka yang mampu berpikir jernih, emas tetap menawarkan satu hal yang langka peluang. Asalkan, tentu saja, Anda tahu kapan harus naik rollercoaster dan kapan harus turun.



Penulis : Naufal Jauhar Nazhif

Editor   : Context.id

Originals 28 April 2025

Emas Diburu dan Harganya Melambung, Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Seperti banyak fenomena dalam pasar keuangan, emas bergerak mengikuti kekuatan klasik ketakutan, ketidakpastian dan tentu saja, logika ekonomi dasar.

Ilustrasi harga emas/Context-Rizki Ghazali

Context.id, JAKARTA - Dalam dunia yang kian tidak pasti, masyarakat kembali melakukan sesuatu yang klasik: memburu emas. Bukan untuk membuat perhiasan, melainkan untuk melindungi nilai. Selama beberapa bulan terakhir, harga emas melesat tajam.

Dari Rp1,13 juta per gram di akhir 2023, lalu Rp1,5 juta di akhir 2024 dan sempat diperdagangkan di atas Rp2 juta per gram hanya dalam waktu empat bulan. Sebuah lonjakan hampir Rp900 ribu yang cukup membuat investor, dan bahkan awam sekalipun, melirik kembali logam mulia ini.

Kenaikan ini bukan tanpa alasan. Seperti banyak fenomena dalam pasar keuangan, emas bergerak mengikuti kekuatan klasik: ketakutan, ketidakpastian dan tentu saja, logika ekonomi dasar. Inflasi menjadi pendorong pertama. Saat harga kebutuhan pokok naik dan daya beli mata uang tergerus, emas tampil sebagai penyelamat. 

Emas bukan sekadar komoditas tapi simbol ketahanan melawan erosi nilai. Di tengah inflasi global yang membayangi pasca pandemi dan ketegangan geopolitik, permintaan terhadap emas melonjak alami. Namun, bukan hanya inflasi yang bermain. Hukum penawaran dan permintaan bekerja dengan sederhana namun brutal. 

Ketika semakin banyak orang memburu emas baik untuk investasi jangka panjang maupun untuk sekadar "berlindung" sementara produksi tetap stagnan, harga pun terdorong ke langit. Ada faktor lain yang beroperasi lebih sunyi namun sama kuatnya yakni suku bunga Federal Reserve. 

Suku bunga riil rendah atau bahkan negatif setelah disesuaikan dengan inflasi, investor merasa kurang tertarik menahan uang tunai atau deposito.  Mereka mencari alternatif. Emas, dengan statusnya sebagai aset keras, menjadi jawabannya.

Sementara itu, nilai tukar dolar AS turut memperparah dinamika ini. Karena emas diperdagangkan dalam dolar, setiap pelemahan dolar membuat harga emas dalam mata uang lain, termasuk rupiah, terasa lebih mahal. 

Bagi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, ini menciptakan dorongan tambahan untuk mengamankan emas sebelum harganya lebih sulit dijangkau. Tidak kalah penting adalah faktor ketidakpastian global. 

Ketika dunia dihantui oleh perang dagang, konflik kawasan, pandemi, hingga ketegangan diplomatik, emas selalu menawarkan satu hal yang jarang ditemukan dalam dunia modern yaitu rasa aman. Dalam ketidakpastian, emas terasa lebih nyata daripada sekuritas, lebih dapat dipercaya dibanding janji-janji politikus.

Namun, di balik semua euforia, ada pelajaran penting yang tidak boleh diabaikan. Membeli emas hanya karena semua orang melakukannya bukanlah strategi investasi yang cerdas. Sejarah telah berulang kali membuktikan bahwa harga emas bisa anjlok secepat ia melonjak. Mereka yang tergesa-gesa membeli di puncak biasanya menemukan diri mereka menjual di dasar.

Investasi emas, seperti semua investasi, memerlukan kesabaran, disiplin, dan, yang paling penting, pemahaman tentang risikonya. Emas idealnya dibeli dengan "uang dingin" dana yang memang tidak akan disentuh dalam jangka panjang, bukan dari tabungan harian atau dana darurat.

Gelombang pembelian emas saat ini adalah cerminan dari dunia yang semakin gelisah. Tapi dalam gelisah itu, bagi mereka yang mampu berpikir jernih, emas tetap menawarkan satu hal yang langka peluang. Asalkan, tentu saja, Anda tahu kapan harus naik rollercoaster dan kapan harus turun.



Penulis : Naufal Jauhar Nazhif

Editor   : Context.id


RELATED ARTICLES

Miskin Versi Bank Dunia, Benarkah 7 dari 10 Orang Indonesia Miskin?

Jika lebih dari setengah warga negara ini dianggap miskin oleh standar global, artinya sudah seberapa jauh standar hidup kita tertinggal?

Naufal Jauhar Nazhif . 20 June 2025

Kenapa Kita Kalah dari Malaysia dan Thailand Soal Wisata Medis?

Indonesia kehilangan sekitar Rp165 triliun setiap tahun hanya karena warganya memilih berobat ke luar negeri

Renita Sukma . 17 June 2025

Dari Bulan ke Asteroid, China Mengincar Langit Lebih Tinggi

Peluncuran Tianwen-2 meluncur ke antariksa membuat dunia menyaksikan babak baru dari persaingan galaksi antara negara Barat dengan China yang mewa ...

Renita Sukma . 16 June 2025

Melihat Pundi-pundi Kekayaan Istri Presiden Prancis, Brigitte Macron

Dari pewaris cokelat hingga ibu negara paling mandiri secara finansial di Eropa

Naufal Jauhar Nazhif . 13 June 2025