Stories - 16 July 2024
Malioboro, Jalanan Raja Jawa yang Kini Bergejolak
Pedagang kecil di kawasan Malioboro ditertibkan karena dianggap mengganggu kerapian dan kenyamanan.
Context.id, JAKARTA - Para pedagang Teras Malioboro (TM) 2 menggelar aksi protes menolak relokasi jilid 2, pada Sabtu (13/7) kemarin.
Aksi protes itu berakhir ricuh yang ditandai dengan aksi saling dorong dan pukul antara pedagang kaki lima dengan petugas Satpol PP. Untungnya bentrokan itu tidak meluas dan bisa diredakan.
Aksi protes para pedagang itu karena merasa terpuruk dengan penghasilannya berjualan di Teras Malioboro 2 yang dinilai sepi dan semakin cemas jika harus direlokasi ke Beskalan dan Ketandan yang lokasinya lebih jauh dari Jalan Malioboro itu.
Protes dilakukan kerena pedagang merasa tak dilibatkan oleh pemerintah dalam proses perencanaannya.
Penjabat Wali Kota Yogyakarta Sugeng Purwanto menyebut penataan pedagang TM 2 ini dilakukan untuk memberikan aspek legalitas.
"Kalau dulu hanya UMKM, tapi begitu masuk di teras mereka menjadi tenant," ujarnya, Senin (15/7/2024).
Menurutnya, penataan TM 2 ini juga bukan untuk menjadikan pemasukan pedagang menurun, tapi justru menjadikannya semakin tertata dan mendatangkan lebih banyak pengunjung.
"Yang namanya awal memang masih pengkondisian. Jadi belum clear, tapi kan sambil menunggu," imbuhnya.
Jalanan Bersejarah
Kawasan Malioboro yang menjadi ajang mencari rezeki para pedagang memang ikonik.
Melansir dari situs resmi Pemkot Yogjakarta, sejarah Jalan Malioboro bermula setelah Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang memecah Kerajaan Mataram Islam menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Jalan Malioboro didirikan bertepatan dengan pendirian Keraton Yogyakarta dan atas perintah Sri Sultan Hamengkubuwono I, pembangunan tersebut dimulai beberapa bulan setelah perjanjian.
Kala itu, Malioboro belum ramai. Ia berfungsi sebagai rajamarga atau jalan kerajaan, yaitu jalur masuk utama masuk ke Keraton untuk menyambut raja dan para tamu negara.
Gubernur jenderal dan pejabat tinggi Belanda lainnya juga kerap melewati jalan ini saat melakukan kunjungan resmi ke Yogyakarta.
Malioboro kemudian mulai ramai di tahun 1790 setelah pemerintah Belanda merampungkan pembangunan Benteng Vredeburg di ujung selatan jalan ini.
Selain benteng, mereka juga membangun Dutch Club atau Societeit de Vereeniging Djokdjakarta (1822), The Dutch Governor’s Residence (1830), lalu Javasche Bank (1879) dan Kantor Pos (1912).
Di awal abad ke-19 ini, pemerintah Hindia Belanda memang hendak membangun Malioboro sebagai pusat perekonomian dan pemerintahan.
Malioboro pun berkembang semakin pesat, terutama karena aktivitas perdagangan antara orang Belanda dan pedagang Tionghoa.
Selain itu, sekitar tahun 1870-an, sentra ekonomi di Yogyakarta mulai berkembang seiring dengan terbitnya Undang-Undang Agraria.
Pada tahun tersebut, pemerintah Hindia Belanda menerapkan politik kolonial liberal atau politik pintu terbuka.
Hal tersebut memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada pihak swasta untuk menanamkan modal. Namun, aturan kepemilikan tanah juga diperketat.
Dengan masuknya modal asing, pemerintah Belanda pun membangun banyak infrasturktur, seperti stasiun, bank, pusat perdagangan, dan sekolah.
Pembangunan stasiun (sekarang Stasiun Tugu Yogyakarta) yang rampung pada tahun 1887 membuat Jalan Malioboro terbagi menjadi dua.
Selanjutnya, di awal abad ke-20, jumlah pendatang di Yogyakarta semakin meningkat. Malioboro pun menjadi jalan pertokoan paling sibuk, hal yang masih bertahan hingga kini.
Dari jalanan sepi penuh pepohonan, Malioboro bertransformasi menjadi pusat perbelanjaan Yogyakarta yang selalu padat pengunjung.
Asal Usul Nama
Nama Malioboro juga masih menyisakan perdebatan. Jika mengacu pada sejarawan Inggris bernama Peter Carey yang fokus pada sejarah modern Indonesia, nama Malioboro berasal dari bahasa Jawa “maliabara”.
Kata tersebut merupakan serapan dari bahasa Sanskerta “malyabhara” yang diambil dari kata malya (bunga) dan bharin (mengenakan). Secara harfiah, kata tersebut bisa diartikan menjadi ‘yang dihiasi bunga’.
Karena pengaruh pengucapan orang Jawa yang membaca “a” sebagai “o”, maka namanya berubah menjadi Malioboro.
Arti ‘yang dihiasi bunga’ ini konon berkaitan dengan masa lalu Keraton. Dahulu, Keraton kerap menggelar acara besar sehingga Jalan Malioboro pun dipenuhi banyak karangan bunga.
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa penamaan Malioboro berasal dari gelar Jenderal John Churchill, Duke of Marlborough pertama dari Inggris. Dalam kasus ini, kata Malioboro diyakini berasal dari kata “Marlborough”.
Namun, pendapat tersebut disanggah sebab Jalan Malioboro sudah ada sejak berdirinya Keraton Yogyakarta. Sri Sultan sendirilah yang menamai jalan tersebut.
Sedangkan, pendudukan Inggris di Hindia Belanda berlangsung sejak tahun 1811-1816, yakni 50 tahun setelah jalan tersebut berdiri dan digunakan untuk kepentingan seremonial.
Jika dulu Mallioboro jadi pusat perdagangan seluruh masyarakat Yogyakarta, kini secara perlahan kawasan ini disterilkan dari pedagang bermodal kecil dengan alasan untuk kerapian dan kenyamanan.
Penulis : Noviarizal Fernandez
Editor : Wahyu Arifin
MORE STORIES
Jam Kerja Rendah Tapi Produktivitas Tinggi, Berkaca dari Jerman
Data OECD menunjukkan bmeskipun orang Jerman hanya bekerja rata-rata 1.340 jam per tahun, partisipasi perempuan yang tinggi dan regulasi bagus mem ...
Context.id | 29-10-2024
Konsep Adrenal Fatigue Hanyalah Mitos dan Bukan Diagnosis yang Sahih
Konsep adrenal fatigue adalah mitos tanpa dasar ilmiah dan bukan diagnosis medis sah yang hanyalah trik marketing dari pendengung
Context.id | 29-10-2024
Dari Pengusaha Menjadi Sosok Dermawan; Tren Filantropis Pendiri Big Tech
Banyak yang meragukan mengapa para taipan Big Tech menjadi filantropi, salah satunya tudingan menghindari pajak
Context.id | 28-10-2024
Dari Barak ke Ruang Rapat: Sepak Terjang Lulusan Akmil dan Akpol
Para perwira lulusan Akmil dan Akpol memiliki keterampilan kepemimpinan yang berharga untuk dunia bisnis dan pemerintahan.
Context.id | 28-10-2024
A modern exploration of business, societies, and ideas.
Powered by Bisnis Indonesia.
Copyright © 2024 - Context
Copyright © 2024 - Context