Monopoli Garuda Pengangkut Haji akan Berakhir?
Kualitas Garuda Indonesia dalam pelayanan jemaah haji belakangan ini terus disoroti. Setelah 70 tahun Garuda memonopoli penerbangan haji, apakah akan terhenti?
Context.id, JAKARTA - Setelah tujuh puluh tahun melayani penerbangan haji, Garuda Indonesia berpotensi dicoret oleh Kementerian Agama.
Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama (Kemenag) Hilman Latief mengutarakan, kementerian bisa saja mencoret maskapai Garuda Indonesia dari daftar maskapai penerbangan haji tahun mendatang.
Hal ini lantaran pada penerbangan haji tahun ini sering terjadi keterlambatan atau delay. Selama beberapa tahun terakhir pelayanan haji, Garuda Indonesia disoroti soal kualitas pelayanannya.
Dalam fase operasional haji 2024 ini, Garuda kembali mengulangi persoalan sama. Keterlambatan kali ini dialami jemaah Kelompok Terbang 9 Embarkasi Balikpapan (BPN-09).
Penundaan bahkan terjadi lebih dari sehari yakni 28 jam. Padahal sebelumnya jemaah haji Kloter 3 Embarkasi Kualanamu (KNO-03) juga mengalami delay selama 12 jam.
Menurutnya, delay penerbangan membuat jemaah semakin lelah. Selain itu, berdampak pada segala aspek seperti akomodasi, konsumsi, hingga transportasi.
"Delay semacam ini membuat jemaah lelah. Mereka terpaksa harus membawa koper kabin kembali karena sudah di bus baru diinfo kalau ada delay . Ini kan melelahkan," katanya.
Selain itu, pemberitahuan penundaan penerbangan seringkali mendadak ketika jemaah sudah keluar dari hotel dan berada di dalam perjalanan atau sudah di bandara.
"Bahkan jemaah sudah berada di bus dan siap menuju Bandara AMAA Madinah baru diinfo kalau ada delay. Ini kejadiannya mirip dengan KNO-03. Jelas Garuda Indonesia tidak profesional," katanya.
Laut ke Udara
Kisah pengangkutan jemaah haji oleh Garuda Indonesia bisa ditarik pada 1953. Kala itu Garuda mulai mengantarkan jemaah sebanyak lima rombongan.
Di masa itu, mayoritas jemaah haji masih menggunakan moda transportasi kapal laut dan baru berhenti pada 1970-an.
Keputusan Menteri Perhubungan No. SK-72/OT.001/Phb-79, memutuskan untuk meniadakan pengangkutan jemaah haji dengan kapal laut dan menetapkan penyelenggaraan angkutan haji dilaksanakan dengan pesawat udara.
Penerbangan rintisan haji itu mengambil rute Jakarta-Jeddah namun dengan transit di beberapa lokasi seperti Medan, Bangkok, Calcutta, New Delhi, Bahrain, dan berakhir di Jeddah.
Rombongan disambut perwakilan Indonesia di Kerajaan Saudi Arabia. Di sini mulailah sejarah penerbangan haji Indonesia.
Harus diakui, calon jemaah harus mengeluarkan biaya lebih mahal untuk dapat menumpangi “burung besi.”
Pada tahun-tahun itu, ongkos naik haji dengan pesawat mencapai sekitar Rp17 ribu per orang, dua kali lipat dari biaya menggunakan kapal laut kala itu, yakni Rp7.500.
Pada 1952, calon jemaah haji asal Indonesia yang menggunakan kapal laut tercatat sebanyak 14.031 orang, sedangkan via pesawat terbang sebanyak 293 orang.
Padahal, perjalanan laut bisa memakan waktu tiga bulan lamanya. Tak jarang pula ada calon jemaah yang wafat di atas kapal, sebelum tiba di Tanah Suci.
Dalam perkembangannya, perbedaan tarif perjalanan haji via udara dan laut semakin tipis.
Tarif pesawat Rp 560.000 dan kapal laut Rp 556.000 sehingga banyak jemaah calon haji yang memilih menggunakan pesawat.
RELATED ARTICLES
Monopoli Garuda Pengangkut Haji akan Berakhir?
Kualitas Garuda Indonesia dalam pelayanan jemaah haji belakangan ini terus disoroti. Setelah 70 tahun Garuda memonopoli penerbangan haji, apakah akan terhenti?
Context.id, JAKARTA - Setelah tujuh puluh tahun melayani penerbangan haji, Garuda Indonesia berpotensi dicoret oleh Kementerian Agama.
Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama (Kemenag) Hilman Latief mengutarakan, kementerian bisa saja mencoret maskapai Garuda Indonesia dari daftar maskapai penerbangan haji tahun mendatang.
Hal ini lantaran pada penerbangan haji tahun ini sering terjadi keterlambatan atau delay. Selama beberapa tahun terakhir pelayanan haji, Garuda Indonesia disoroti soal kualitas pelayanannya.
Dalam fase operasional haji 2024 ini, Garuda kembali mengulangi persoalan sama. Keterlambatan kali ini dialami jemaah Kelompok Terbang 9 Embarkasi Balikpapan (BPN-09).
Penundaan bahkan terjadi lebih dari sehari yakni 28 jam. Padahal sebelumnya jemaah haji Kloter 3 Embarkasi Kualanamu (KNO-03) juga mengalami delay selama 12 jam.
Menurutnya, delay penerbangan membuat jemaah semakin lelah. Selain itu, berdampak pada segala aspek seperti akomodasi, konsumsi, hingga transportasi.
"Delay semacam ini membuat jemaah lelah. Mereka terpaksa harus membawa koper kabin kembali karena sudah di bus baru diinfo kalau ada delay . Ini kan melelahkan," katanya.
Selain itu, pemberitahuan penundaan penerbangan seringkali mendadak ketika jemaah sudah keluar dari hotel dan berada di dalam perjalanan atau sudah di bandara.
"Bahkan jemaah sudah berada di bus dan siap menuju Bandara AMAA Madinah baru diinfo kalau ada delay. Ini kejadiannya mirip dengan KNO-03. Jelas Garuda Indonesia tidak profesional," katanya.
Laut ke Udara
Kisah pengangkutan jemaah haji oleh Garuda Indonesia bisa ditarik pada 1953. Kala itu Garuda mulai mengantarkan jemaah sebanyak lima rombongan.
Di masa itu, mayoritas jemaah haji masih menggunakan moda transportasi kapal laut dan baru berhenti pada 1970-an.
Keputusan Menteri Perhubungan No. SK-72/OT.001/Phb-79, memutuskan untuk meniadakan pengangkutan jemaah haji dengan kapal laut dan menetapkan penyelenggaraan angkutan haji dilaksanakan dengan pesawat udara.
Penerbangan rintisan haji itu mengambil rute Jakarta-Jeddah namun dengan transit di beberapa lokasi seperti Medan, Bangkok, Calcutta, New Delhi, Bahrain, dan berakhir di Jeddah.
Rombongan disambut perwakilan Indonesia di Kerajaan Saudi Arabia. Di sini mulailah sejarah penerbangan haji Indonesia.
Harus diakui, calon jemaah harus mengeluarkan biaya lebih mahal untuk dapat menumpangi “burung besi.”
Pada tahun-tahun itu, ongkos naik haji dengan pesawat mencapai sekitar Rp17 ribu per orang, dua kali lipat dari biaya menggunakan kapal laut kala itu, yakni Rp7.500.
Pada 1952, calon jemaah haji asal Indonesia yang menggunakan kapal laut tercatat sebanyak 14.031 orang, sedangkan via pesawat terbang sebanyak 293 orang.
Padahal, perjalanan laut bisa memakan waktu tiga bulan lamanya. Tak jarang pula ada calon jemaah yang wafat di atas kapal, sebelum tiba di Tanah Suci.
Dalam perkembangannya, perbedaan tarif perjalanan haji via udara dan laut semakin tipis.
Tarif pesawat Rp 560.000 dan kapal laut Rp 556.000 sehingga banyak jemaah calon haji yang memilih menggunakan pesawat.
POPULAR
RELATED ARTICLES